JAKARTA - Tradisi pulang kampung atau mudik sudah mengakar bagi masyarakat Indonesia. Migrasi tahunan ini biasanya mencapai puncaknya saat menjelang Idul Fitri.
Namun, di tengah pandemi COVID-19 yang terjadi pada tahun ini, masyarakat Indonesia agaknya berbesar hati untuk sementara waktu menahan rasa rindu. Pasalnya para ahli kesehatan masyarakat memperingatkan hal itu bisa menjadi "bom" penyebaran virus corona baru.
Argumen itu tidak berlebihan, sebab, mereka yang mudik jumlahnya tak sedikit. Menurut data Kementerian Perhubungan Periode Juni tahun lalu saja ada 23 juta orang yang pulang ke kampung halaman masing-masing. Sementara 15 juta pemudik itu berasal dari Jabodetabek. Wilayah yang kasus COVID-19 paling banyak.
Apalagi di tengah wabah ini, Pemerintah Indonesia tidak melarang penuh masyarakat untuk mudik saat lebaran nanti. Meskipun ada sejumlah imbauan dan aturan yang dikeluarkan menyusul pembatasan pergerakan masyarakat untuk pulang ke kampung halaman.
Sementara itu, pakar kesehatan Monica Nirmala memperingatkan bahwa ada konsekuensi mengerikan apabila kegiatan mudik tetap berlangsung.
"Di Indonesia, kami punya 17.000 pulau, dengan 8.000 pulau berpenghuni, namun pada pandemi ini, pengujian hanya ada di Jakarta," kata Monica dikutip Forbes, Kamis 9 April.
Monica ragu dengan kebijakan pemerintah pusat yang hanya menyuruh pemudik untuk mengarantina diri selama 14 hari. Pasalnya itu pun sifatnya hanya imbauan dan mudah dilanggar.
"Masayarakat bisa melanggarnya dengan berjalan-jalan ke pasar," kata pakar kesehatan lulusan kesehatan masyarakat Universitas Harvard ini.
BACA JUGA:
Selain itu, Monica sebagai dokter yang juga aktif di daerah Kalimantan barat mengkhawatirkan nasib masyarakat adat. Ia khawatir masyarakat yang berada di daerah bisa ikut terdampak COVID-19 akibat mudik.
Menyiapkan Langkah Pencegahan Mandiri
Sekretaris Deputi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mini Setra bilang untuk mengantisipasi hal buruk itu, mereka telah melakukan beberapa persiapan.
"Masyarakat harus membuat keputusan sendiri dan menggunakan sumber daya mereka sendiri," kata Setra masih dikutip Forbes.
Menurutnya, masyarakat harus mengambil tindakan pencegahan serius untuk melindungi desa mereka. "Pasalnya "hanya beberapa rumah sakit yang dapat menangani kasus COVID-19, dan mereka sudah kewalahan, jadi begitu masuk ke desa, kita dapat memperkirakan yang terburuk," katanya.
Setra menuturkan, tindakan pencegahan itu bisa berupa mempersiapkan tempat seperti rumah atau mungkin tenda di luar desa untuk mengarantina mereka jika sudah kembali ke desa. Termasuk mencari pengobatan tradisional, memastikan ketahanan pangan dan membentuk tim kecil untuk memeriksa kondisi setiap orang.