Tak Tegasnya Pemerintah dengan Pembatasan Pemudik
Foto terminal Kampung Melayu (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah pusat memang tak mengeluarkan larangan bagi masyarakat yang ingin mudik saat hari raya Idul Fitri 2020 di tengah pandemi COVID-19. Hanya saja belakangan, berbagai imbauan dan aturan kembali dikeluarkan menyusul pembatasan pergerakan masyarakat pulang ke kampung halaman.

Salah satu contohnya, soal pembatasan jumlah penumpang dalam kendaraan pribadi yang dilakukan oleh Polri. Dengan berlandasakan komitmen untuk jaga jarak selama mudik agar mencegah penularan COVID-19, nantinya, dalam satu kendaraan pribadi tidak diperbolehkan memgangkut banyak penumpang.

Kakorlantas Polri Irjen Istiono mengatakan, dalam penerapan aturan tersebut, untuk mobil berukuran kecil atau sedan hanya boleh ditumpangi dua orang. Sedangkan, mobil berjenis minibus dibatasi maksimal membawa tiga orang. Bahkan, bagi kendaraa roda dua hanya satu orang.

"Pembatasan kendaraan diharapkan nanti 50 persen dari kapasitas yang ada, sebagai komitmen untuk jaga jarak," ucap Istiono, Senin, 6 April.

Kemudian, untuk pengawasan, kata Istiono, personel polisi akan ditempatkan di seluruh pintu tol dan beberapa titik lainnya. Sehingga, jika ada pemudik yang tak menerapkan aturan jaga jarak ketika mudik akan langsung ditindak.

Penindakan yang dilakukan bukan dengan penilangan. Melainkan, mereka yang melanggar tidak akan diperbolehkan melanjutkan perjalanan atau diminta untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Jadi yang nantinya kedapatan melebihi kapasitas, pasti akan kami minta untuk putar alihkan (pulang ke rumah)," tegas Istiono.

Penerapan aturan ini pun disebut telah sesuai dengan kebijakan pemerintah yang meminta masyarakat untuk selalu menjaga jarak atau physical distancing. Sehingga, nantinya dapat mencegah penyebaran COVID-19 ke daerah-daerah lain.

Kendati demikian, lanjut Istiono, berdasarkan data yang ada, saat ini tingkat kesadaran masyarakat cukup tinggi. Hanya sekitar 15 persen dari masyarakat yang tetap memilih untuk mudik.

"Untuk saat ini (masyarakat) yang ingin mudik sekitar 15 persen, memang kecil. Ini bagian daripada kesadaran masyarakat kita yang begitu tinggi tentang kesehatan," singkatnya.

Analisis Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah angkat bicara mengenai penerapan aturan tersebut. Menurutnya, implementasi di lapangan akan mendapat kendala. Sebab, tidak ada kejelasan mengenai sanksi yang akan menjerat para pelanggaran.

"Tentu tidak akan efektif, penerapannya kemungkinan akan bermasalah dan bahkan bisa menimbulkan konfilik saat ada penindakan," kata Trubus.

Dengan adanya aturan itu, kata Trubus, semakin memperlihatkan jika keputusan pemerintah pusat tidak tegas ketika mengeluarkan keputusan soal tak melarang masyarakat untuk mudik. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai aturan dari instansi lainnya.

Kemudian, keputsan pemerintah pusat pun dikatakan seolah tidak jelas arahnya. Untuk itu, disarankan lebih baik membuat keputusan larangan masyarkat agar tidak mudik jika memang tujuannya untuk mencegah penyebaran COVID-19 yang semakin meluas.

"Pemerintah pusat seolah tidak mau kehilangan wibawa tapi aturan atau keputusan terkait mudik yang dikeluarkan tidak jelas arahnya. Mau melarang tapi tidak tegas," tandas Trubus.