Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memilih fokus membuktikan perbuatan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos dalam kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang merugikan keuangan negara hingga Rp2,3 triliun. Ia tak akan dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor atau perintangan penyidikan.

“Tentu tidak (menjerat dengan pasal perintangan penyidikan, red) karena dia posisi tersangka dalam penyidikan tersebut,” kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto dalam keterangannya kepada wartawan yang dikutip Kamis, 30 Januari.

Sementara itu, Paulus Tannos disebut layak dijerat dengan Pasal 21 atau perintangan penyidikan karena kabur dan mengubah kewarganegaraannya. Hal tersebut disampaikan eks penyidik KPK, Praswad Nugraha yang menilai penerapan pasal berlapis bisa dilakukan.

Diketahui, Paulus Tannos, Direktur Utama PT Sandipala Arthapura yang buron sejak 2021 akhirnya ditangkap otoritas keamanan Singapura. Dia kemudian menjalani penahanan sementara selama 45 hari sesuai aturan perjanjian ekstradisi.

"Upaya perubahan status warga negara yang dilakukan Paulus Tannos dapat dikategorikan perbuatan pidana tersendiri, yaitu Pasal 21 upaya menghalang-halangi penyidikan," kata Praswad dalam keterangan tertulisnya, Senin, 27 Januari.

"Tindakan Tannos yang berusaha kabur dan buron serta mengubah status kewarganegaraan setelah melakukan tindak pidana di Indonesia adalah tindak pidana berlapis, selain tindak pidana pokoknya, yaitu korupsi e-KTP yang telah dilakukan olehnya," sambungnya.

Praswad juga meyakini Paulus Tannos tetap bisa dihukum sesuai aturan di Tanah Air walaupun sudah berganti kewarganegaraan. Sebab, perbuatan pidana dilakukannya saat masih berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI).

"Maka berlaku asas nasionalitas aktif. Tidak peduli apapun status warga negaranya sekarang," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Paulus Tannos yang merupakan Direktur Utama PT Sandipala Arthapura akhirnya ditangkap otoritas Singapura setelah masuk daftar pencarian orang sejak 2021. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.

Ketika itu dia ditetapkan KPK sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya, yakni Isnu Edhi Wijaya selaku mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI); anggota DPR RI 2014-2019 Miryam S Haryani; dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.