JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut bisa mengirim surat ke Presiden Prabowo Subianto jika Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tak kunjung melaksanakan tugasnya menghitung kerugian negara.
Hal ini disampaikan oleh eks penyidik KPK, Praswad Nugraha menanggapi sejumlah kasus yang ternyata kerugian negaranya belum dihitung oleh BPKP. Kondisi ini menyebabkan tersangka dalam sejumlah kasus yang berkaitan dengan Pasal 2 atau Pasal 3 tak kunjung ditahan.
"Kalau BPKP tidak melaksanakan tugasnya, KPK bisa bersurat ke Presiden langsung dan menyampaikan bahwa, 'Bapak Presiden, ini pembantu bapak, BPKP tidak melaksanakan tugasnya'," kata Praswad saat dihubungi VOI melalui sambungan telepon, Rabu, 8 Januari.
Praswad menyebut cara ini sangat mungkin dilakukan mengingat BPKP merupakan lembaga yang melaksanakan proses pengawalan pembangunan. "Jadi nanti Presiden yang menegur langsung," tegasnya.
Selain itu komisi antirasuah juga diminta menjelaskan kepada publik kenapa penahanan perlu menunggu penghitungan kerugian negara. Termasuk, jika ada upaya menunda dari BPKP.
"Sampaikan saja enggak ada masalah, BPKP tidak mau melaksanakan tugasnya. Kami (KPK, red) melaksanakan tugas kami. Karena penegakan hukum ini tidak mungkin sendirian karena memang masing-masing lembaga, baik kepolisian yang mengawal saat tangkap tangan atau penggeledahan. Semua ini jadi satu sistem law-enforcement yang harus berjalan lengkap," jelas Praswad.
Jika cara ini belum menemui titik terang, KPK juga bisa minta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan penghitungan kerugian negara. Proses tersebut juga bisa menggandeng akuntan publik.
"Dia bisa menghitung kerugian atas nilai kontrak, kita bandingkan dengan realisasi di lapangan," ungkapnya.
Penggunaan akuntan publik, sambung Praswad, sudah digunakan oleh sejumlah perusahaan pelat merah. KPK tak perlu khawatir soal diterima atau tidaknya penghitungan itu karena hakim yang akan menilai dan memutuskan dalam persidangan.
"Keempat, KPK memiliki ahli juga di internal. Ada auditor BPK atau BPKP yang memiliki sertifikasi auditor resmi negara yang bekerja di KPK. Ingat. Jadi, di KPK banyak sekali hampir 100 lebih atau 200 lebih auditor BPK maupun BPKP yang bekerja sebagai pegawai dan memiliki sertifikasi dan legalitas diakui negara sebagai auditor," jelas Praswad.
Praswad bilang segala cara ini harus dicoba oleh KPK supaya kasus korupsi yang ditangani segera beres. Tak perlu ada asumsi berlebih soal intervensi dari pihak lain sehingga penghitungan kerugian negara berjalan lambat.
"Segala kemungkinan mungkin saja. Secara teknis, politis ada intervensi dan lainnya mungkin. Tapi kan capek kalau kita bikin asumsi, terhambat karena dugaan dan berupaya keras membuktikan dugaan tersebut itu membuang waktu. Sudah laporkan saja ke Presiden bahwa kinerja BPKP. Satu, tidak melaksanakan," katanya.
"Kedua sudah dilakukan secara resmi, bantuan. Saya yakin penyidik juga sudah datang ke sana (BPKP, red) secara informal, formal bersurat. Jadi sampaikan saja ke Presiden," sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, KPK belum menahan tersangka dalam kasus yang berkaitan dengan pasal kerugian negara. Di antaranya adalah korupsi pengadaan lahan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang dilaksanakan PT Hutama Karya (Persero) tahun 2018-2020.
Sumber VOI menyebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) disebut belum melaksanakan tugasnya menghitung kerugian negara. Surat tugas belum dikeluarkan lembaga itu dengan dalih menunggu proses kasasi gugatan perdata perusahaan yang terlibat dalam kasus ini.
Kemudian, surat tugas juga belum dikeluarkan BPKP untuk menghitung kerugian negara di kasus korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
BACA JUGA:
Hal ini sudah dibenarkan oleh Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika yang tidak tahu alasan pasti belum diterbitkannya surat tersebut. Namun, kondisi ini disebutnya membuat kemungkinan menggunakan akuntan forensik internal terbuka meski keputusan akhirnya ada di tangan penyidik.