Polri Buka Data Penindakan Kerumunan Darurat COVID-19 Sejauh Ini
Operasi bubarkan kerumunan oleh polisi (Sumber: humas.polri.go.id)

Bagikan:

 JAKARTA - Polri membeberkan data penindakan terhadap pihak yang masih berkurumun selama pandemi COVID-19. Berdasarkan data, Jawa Timur merupakan wilayah yang paling banyak dilakukan penindakan.

Karo Penmas DivHumas Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan, sekitar tiga ribu orang dilakukan penindakan usai maklumat Kapolri diberlakukan. Mereka diminta untuk membuat surat pernyataan agar tak mengulangi perbuatannya.

"Di Jawa Timur, ada kegiatan pembubaran di beberapa lokasi, tetapi karena masih ngeyel, kita bawa ke kantor polisi. Ada sekitar 3000 masyarakat," ucap Argo di Graha BNPB, Jakarta, Senin, 6 April.

Kemudian, wilayah lain yang sudah mulai melakukan penindakan tegas, yakni, DKI Jakarta. Sekitar 18 orang ditetapkan sebagai tersangka karena melawan atau menolak ketika petugas membubarkannya. Meski ditetapkan sebagai tersangka, lanjut Argo, mereka tak ditahan dan hanya berstatus sebagai tahanan rumah.

Jika merujuk data yang ada, maka, sebanyak 10.873 kerumunan massa telah dibubarkan selama pandemi COVID-19. Artinya, Polri tak akan main-main dalam melakukan penindakan tersebut yang bertujuan untuk memutus mata rantai penyebaran.

Penindakan terkait kerumunan, dikatakan, akan dibarengi dengan penyampaian informasi dan edukasi soal bahaya penyebaran COVID-19. Petugas akan terua mengimbau masyarakat agar tak keluar rumah. Selanjutnya, dari data yang ada juga tertera jika Polri sudah menindak puluhan kasus penyebaran hoaks terkait COVID-19 di seluruh Indonesia.

"Kemudian juga ada kasus hoax sudah kita tangani 76 kasus. Kasus hoax terbanyak yang diungkap adalah di Polda Metro Jaya sebanyak 11 kasus dan Polda Jawa Timur 11 kasus," tandas Argo.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah mengeluarkan imbauan pembatasan sosial skala besar untuk menghadapi pandemi virus corona atau COVID-19. Polri akan bertindak tegas bagi masyarakat yang tak bisa menjalankan kebijakan ini.

Kapolri Jenderal Idham Azis mengatakan, ada sejumlah pasal buat menjerat mereka yang tak mengindahkan kebijakan dari pemerintah ini. 

Untuk yang berkerumun, mereka dijerat Pasal 14 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Masyarakat juga diminta berkegiatan di dalam rumah sesuai dengan Pasal 212, 214 ayat 1 dan 2, serta Pasal 216, dan 218 KUHP.

"Terkait sanksi pidana terhadap masyarakat yang melanggar kebijakan pemerintah dalam masa darurat pandemi COVID-19, seperti tidak mau dibubarkan saat berkerumun, mengadakan keramaian setelah diperintah petugas, ancaman (Pasal) yang dapat dikenakan (kepada masyarakat)," ucap Idham rapat kerja bersama Komisi III DPR RI melalui video teleconference, Selasa, 31 Maret.

Merujuk ayat 1 dan 2 pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit, mereka yang melanggar akan dipenjarakan paling lama satu tahun dan denda satu juta rupiah.

Sedangkan, sanksi yang lebih berat tertera pada Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Mereka yang melanggar akan dipenjara satu tahun dan atau denda seratus juta rupiah. Sementara, untuk Pasal 212, 214 ayat 1 dan 2, serta Pasal 216, dan 218 KUHP, baru akan diterapakan kepada masyarakat yang membandel, jika mereka melakukan perlawanan kepada petugas kepolisian.