Bagikan:

JAKARTA - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo menyebut kelompok kerja penanganan pelanggaran protokol kesehatan Pilkada 2020 mulai bekerja hari ini.

Menurut Ratna, pokja yang terdiri dari Bawaslu, KPU, DKPP, Kemendagri, Satgas Penanganan COVID-19, Kejaksaan, TNI, dan Polri akan melakukan deteksi dini terhadap potensi kerumunan terkait tahapan pilkada.

"Kami sudah instruksikan pokja untuk semua provinsi. Hari ini, pokja sudah mulai bekerja dengan mendeteksi dini yang berisiko pengumpukan massa," ujar Ratna dalam diskusi virtual, Rabu, 23 September.

Dewi melanjutkan, bila terjadi kegiatan pengumpulan massa yang dilakukan peserta pilkada yakni pasangan calon, partai politik, maupun tim kampanye maka akan langsung dibubarkan.

"Poinnya, saat kampanye, terjadi pengumpulan massa maka bisa dibubarkan. Pemda-pemda juga sudah terbitkan surat kepala daerah yang digunakan untuk penegakkan hukum pelanggaran protokol kesehatan," jelasnya.

Sebagai informasi, Ketua Bawaslu Abhan mengumumkan pembentukan kelompok kerja (pokja) penanganan pelanggaran protokol kesehatan pada tahapan Pilkada 2020.

Pokja penanganan pelanggaran protokol COVID-19 punya tugas dasar melakukan sosialisasi secara masif kepada publik untuk terus menjalankan protokol kesehatan dalam setiap tahapan pilkada serentak 2020.

Sementara, terkait dengan penindakan pelanggaran protokol yang dilakukan oleh peserta pilkada, Bawaslu akan menyerahkan potensi tindak pidana ke kepolisian.

"Kepolisian akan melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 sesuai dengan tingkatan SOP yang sudah diterapkan oleh Polri," tutur dia.

Sejauh ini, penindakan yang bisa dilakukan Bawaslu saat ada bakal pasangan calon Pilkada 2020 yang melanggar protokol kesehatan hanya berupa teguran, baik secara langsung maupun tertulis.

Bawaslu juga meneruskan 243 pelanggaran protokol kesehatan yang terdata kepada pihak kepolisian. Sebab, hanya aparat penegak hukum yang bisa menjatuhkan sanksi lebih berat yakni pidana.

Ancaman pidana tersebut masuk dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.