Menilik Penggabungan 2 Kementerian, Jokowi Takut Reshuffle Menteri dari Parpol?
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo dikabarkan bakal melantik dua menteri baru, yakni Mendikbud Ristek dan Menteri Investasi pada pekan-pekan ini.

Otomatis Jokowi bakal mengganti 3 menteri di kementerian/lembaga sebelumnya. Diantaranya, Mendikbud Nadiem Makarim, Menristek/BRIN Bambang Brodjonegoro dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

Hingga saat ini belum terdengar jelas siapa yang bakal mengisi pos 2 jabatan menteri pengganti. Samar-samar hanya Bahlil Lahadalia yang disebut akan dijadikan menteri investasi.

"Kita tunggu pekan-pekan ini atau bisa pekan depan, sebab biasanya presiden tidak lambat dalam mengambil keputusan apalagi menterinya sudah pamit kan," ujar Tenaga Ahli KSP Ali Mochtar Ngabalin, Rabu, 15 April.

Akan tetapi, publik masih penasaran dengan alasan Presiden Jokowi menggabungkan dua kementerian yang penting demi membentuk satu kementerian baru. Alih-alih penghematan kabinet, langkah Jokowi malah disayangkan melebur Kemenristek yang sangat fundamental saat pandemi ini.

Bahkan, DPR RI yang dikirimi surpres pun tidak mengetahui secara pasti alasan orang nomor satu di Indonesia itu ingin melikuidasi Kemenristek dan Kemendikbud. Anggota DPR Fraksi PDIP Masinton Pasaribu hanya mengatakan bahwa rencana ini sudah muncul sejak tahun lalu. 

"Kita lihat Presiden pada tahun 2020 lalu sudah mewacanakan itu (penggabungan kementerian, red) bagaimana ada efisiensi di kementerian juga perintah UU semacam kementerian investasi," ujar Masinton dalam diskusi virtual bertajuk "Evaluasi Kabinet dan Peta Politik 2024", Sabtu, 10 April.

Masinton mengungkapkan, dalam surat yang dikirimkan ke DPR memang tidak disebutkan secara rinci alasan Presiden Jokowi menginginkan peleburan 2 kementerian tersebut. Akan tetapi rapat Bamus sepakat untuk menyetujui usulan dibawa ke paripurna DPR.

"Dalam surat presiden tidak disebutkan secara detail tetapi berdasarkan UU nomor 39 tahun 2008 tentang kementerian negara, penggabungan misalnya harus persetujuan DPR. Jadi karena sebelumnya dalam rapat komisi terkait, Komisi X, wacana itu sudah mengemuka," ungkap anggota Komisi III DPR itu.

Akan tetapi, Masinton meyakini Presiden akan merealisasikan gabungan 2 kementerian tersebut. Namun, siapa yang memimpin kementerian itu merupakan hak prerogatif presiden.

"Jadi penggabungan itu kemungkinan besar akan dilakukan presiden karena DPR sudah menyatakan persetujuan atas penggabungan tersebut, dan kemudian juga kementerian investasi sudah dapat persetujuan. Nanti apakah presiden akan (menunjuk, red) untuk mengisi orang, itu prerogatif presiden," kata Masinton.

Pengamat politik Ray Rangkuti menduga dileburnya Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) lantaran Presiden Jokowi tidak ingin membuat kegaduhan di dalam tubuh kabinet. Seiring keinginannya melakukan reshuffle. 

Ray mengaku aneh dengan keputusan Presiden Joko Widodo yang menggabungkan kedua kementerian tersebut. Pasalnya, Kemenristek adalah kementerian yang perannya sangat dibutuhkan. Terlebih saat pandemi seperti sekarang ini.

Menurut Ray, jika Presiden hendak menghemat kementerian atau kelembagaan, seharusnya pimpinan negara menghapus saja Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sebab, manfaatnya tidak terlalu signifikan.

"Kan ada misalnya kementerian lain yang tidak dibutuhkan, sebut saja Kemenkominfo, kan tidak terlalu signifikan dia. Ada tak ada juga tidak ada pengaruhnya bagi bangsa Indonesia. Kalau riset kan jelas basis pencapaiannya. Di teknologi harus berbasis riset apalagi musim pandemi gini mestinya riset  dikencangkan lagi dalam rangka menemukan vaksin yang tepat," ujar Ray kepada VOI, Rabu, 15 April.

"Makanya saya heran kenapa Jokowi milih melikuidasi kemenristek dibandingkan Kemenkominfo," sambungnya.

Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia itu menduga, Kemenristek 'ditumbalkan' lantaran Jokowi tak ingin membuat gaduh kabinetnya. Sebab, Menristek Bambang Brodjonegoro bukan lah dari kalangan partai politik.  

"Dugaan saya mengapa Menristek ini yang diambil oleh pak Jokowi dibandingkan Menkominfo, karena Menkominfo anggota kabinet dari parpol yaitu Nasdem. Mungkin pak Jokowi daripada ribut buat gaduh ya menteri yang tidak bakal ada gaduhnya lah yang dilikuidasi. Dalam hal ini Menristek," bebernya. 

Lalu kenapa tidak Kemendikbud? Ray menjelaskan bahwa sesuai UU Kementerian yang saat ini dipimpin Nadiem Makarim harus ada dalam setiap pemerintahan.

"Kenapa Kemenristek bukan Kemendikbud? Karena Kemendikbud Tak boleh dilikuidasi karena itu diatur UU bahwa Kemendikbud adalah keniscayaan. Siapapun presiden Kemendikbud harus ada. Kalau kemenristek dipoin 3 dalam UU kementerian pasal 40, jadi Kemenristek boleh ada atau tidak ada sama seperti Kemenkominfo," jelas Ray.

"Kalau dilihat dari urgensinya ya Kemenristek jauh lebih dibutuhkan daripada Kemenkominfo. Tapi kenapa tidak dilikuidasi ya karena yang menjabat adalah menteri dari partai," sindirnya.

Terkait pengalaman penggabungan kedua kementerian tersebut pernah mengalami kegagalan, Ray menilai itu sudah menjadi resiko politik Jokowi dalam mengambil kebijakan. 

"Itu resiko yang harus diambil, resiko politik yang mengakomodir parpol yang gabung dalam koalisinya. Nah, apakah ini langkah yang tepat bagi Jokowi? Ya tepat karena tidak mengundang kegaduhan politik. Tapi apakah langkah itu tepat bagi bangsa ini? Ya tentu tidak tepat, jelas-jelas bangsa ini lebih butuh Kementerian Ristek daripada kementerian Kominfo," tandas Ray Rangkuti.

Lantas siapakah sosok yang tepat memimpin Kemendikbud Ristek?

Ray Rangkuti menilai, Nadiem Makarim bakal kerepotan jika menaungi dua kementerian sekaligus. Yakni, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Riset dan Teknologi jika jadi dilebur.

"Nadiem saya kira akan kerepotan kalau sampai ngurus juga masalah terkait riset. Mungkin kalau Kemendikbud masih bisa ditangani, tapi kalau risetnya gimana? Karena ini bukan kerjaan yang bisa dilakukan dengan sambil lalu," ujar Ray.

Menyaring usulan publik, Ray menilai ada satu sosok yang cocok memimpin Kementerian Dikbud dan Ristek sekaligus, yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie.

"Saya kira figur Nadiem tidak cukup memadai untuk dua jabatan ini sekaligus atau mungkin butuh figur lain. Kemarin di diskusi yang diselenggarakan salah satu kanal YouTube ada yang usul Jimly sebagai salah satu figur dimunculkan. Saya setuju jika figur Jimly, justru terbayang dia cocok untuk menempati posisi kalau Kemenristek dan Kemendikbud digabung," terangnya.

Menurut Ray, Jimly memiliki pengalaman dan track record yang mumpuni memimpin suatu kementerian. Selain ketua MK, Jimly juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Dia pun juga seorang Guru Besar di Universitas Indonesia.

"Kita semua kenal lah kapasitas Jimly. Dari kepemimpinannya, dari track record punya kecendrungan. Karena itu, betul juga ada baiknya Jimly dilirik mengisi pos baru dalam hal ini menteri Dikbud dan Riset," tandas Ray Rangkuti.

Untuk diketahui, Jimly Asshiddiqie merupakan mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang pertama (2003-2008). Selama kepemimpinannya di MK RI, Jimly diakui secara nasional dan internasional berhasil membangun MK menjadi lembaga peradilan konstitusi yang modern, terpercaya dan berwibawa.

Dia juga seorang akademisi Indonesia yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada 2010 lalu. Lelaki kelahiran Palembang 7 April 1956 itu merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus dikenal sebagai pakar hukum tata negara.