JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis hasil pengawasan uji klinik fase 1 vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Uji klinik fase 1 dilakukan di RSUP Dr. Kariadi, Semarang, Jawa Tengah sejak 22 Desember 2020. Subjek penelitian sebanyak 28 orang.
Lalu, pada tanggal 15 Januari, 29 Januari, 9 Februari, dan 18 Februari peneliti vaksin Nusantara menyampaikan hasil uji klinik fase 1 berupa pengamatan keamanan 14 hari dan imunogenitas 1 bulan setelah pemberian vaksin uji.
Namun, Kepala BPOM Penny K. Lukito menyebut data hasil uji klinik fase 1 berubah-ubah. Oleh sebab itu, tim BPOM melakukan inspeksi ke lokasi uji klinik, RSUP Dr. Kariadi. Ternyata, Penny menganggap hasil uji klinik belum layak.
"Berdasarkan hasil uji klinik Fase 1, vaksin Nusantara dinilai belum memenuhi banyak kaidah tahapan uji klinik, di antaranya good manufacturing practice (GMP) dan good clinical practice (GCP)," kata Penny dalam keterangan yang diterima VOI pada Kamis, 15 April.
Temuan inspeksi
BPOM menemukan lima kesalahan aspek pemenuhan good manufacturing practice (GMP) uji klinik fase 1 vaksin nusantara. Pertama, produk vaksin dendritik tidak dibuat dalam kondisi yang steril.
Penny bilang, tim peneliti mengklaim pembuatan vaksin secara close system, dengan darah dikeluarkan dari tubuh manusia sampai dimasukkan kembali tidak pernah ada proses pembukaan tabung darah. Tetapi pada kenyataannya semua dilakukan secara manual dan open system.
“Produk harus steril, tidak terkontaminasi, tapi data tidak menunjukkan demikian,” ujar Penny.
Kedua, antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai produk utama pembuatan vaksin dendritik tidak terjamin kebersihannya.
"Dinyatakan oleh produsen (Lake Pharma-USA) bahwa tidak dijamin sterilitasnya. Antigen tersebut penggunaannya hanya untuk riset di laboratorium, bukan untuk diberikan kepada manusia," ungkap Penny.
Ketiga, hasil produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan pengujian sterilitas dengan benar sebelum diberikan kepada manusia.
"Hal tersebut berpotensi memasukkan produk yang tidak steril dan menyebabkan risiko infeksi bakteri pada penerima vaksin," ujar dia.
Keempat, produk akhir dari vaksin dendritik tidak dilakukan pengujian kualitas sel dendritik. Penny bilang Peneliti hanya menghitung jumlah selnya saja.
Tapi, hal tersebut juga tidak konsisten karena ada 9 dari 28 sediaan yang tidak diukur, dan dari 19 yang diukur terdapat 3 sediaan yang di luar standar, tetapi tetap dimasukkan.
Kelima, Penny mengaku sebenarnya BPOM telah melakukan inspeksi sebelumnya. Sayangnya, hasil inspeksi pertama tidak ditindaklanjuti dengan menyelesaikan Corrective Action and Preventive Action (CAPA).
Dalam hal ini, CAPA adalah tindakan perbaikan dan langkah pencegahan dalam suatu penelitian, sehingga mutu, keamanan dan kualitas produk kesehatan bisa terjamin.
"Sayangnya, tim peneliti vaksin Nusantara tidak melakukan koreksi dengan penyerahan CAPA. Sebaliknya, justru berulang kali melakukan pengabaian atas permintaan BPOM," jelas Penny.
Oleh sebab itu, Penny meminta tim peneliti melakukan perbaikan dan menyampaikan kepada BPOM. "Silakan diperbaiki proof of concept-nya, kemudian data-data yang dibutuhkan untuk pembuktian kesahihan validitas dari tahap I clinical trial, barulah kalau itu semua terpenuhi barulah kita putuskan apakah mungkin untuk melangkah ke fase selanjutnya," pungkas dia.