JAKARTA - Indonesia akan terus menggaungkan masalah kapal selam nuklir, kata pejabat Kementerian Luar Negeri RI pada Hari Senin, merujuk pada masih banyaknya area abu-abu seputar kapal selam nuklir, setelah sebelumnya mendorong pembahasan di PBB.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Roy Soemirat mengatakan, Indonesia menginisiasi pembahasan mengenai kapal selam nulir di PBB, dalam kerangka Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT) tahun 2022 lalu.
"Kita menganggap masih banyak grey area yang harus ditegaskan kembali di bawah aturan standar konvensi internasional yang diakui secara menyeluruh," kata Roy dalam keterangan pers Senin 16 Desember.
"Kita selalu menggaungkan isu kapal selam ini bukan hanya dalam pertemuan NPT review, sampai saat ini kita masih terus lanjutkan pembahasannya di bawah IAEA (Badan Energi Atom Internasional)," jelas Roy.
Lebih jauh dijelaskannya, masalah kapal selam nuklir merupakan concern bersama, buka hanya Indonesia, bagaimana memastikan negara-negara yang berkeinginan mengembangkan tenaga nuklir untuk tujuan penggunaan kapal selam nuklir, tetap bisa dilakukan di bawah kerangka yang diawasi mekanisme internasional IAEA, terkait dengan penggunaan nuklir, terutama untuk penggunaan damai.
Dikatakannya, kapal selam nuklir identik sekali dengan penggunaan kendaraan terkait erat kegiatan kegunaan militer
"Jadi ini sangat sensitif dan sangat mungkin diatur, sehingga, tidak ada lagi grey area mana yang boleh, mana yang tidak," tegasnya.
Ditegaskannya, bagi Indonesia, tiga pilar NPT sudah jelas, yakni perlucutan non proliferasi, penggunaan bahan nuklir untuk tujuan damai, dan komitmen perlucutan senjata nuklir yang disayangkan sampai saat ini belum dilakukan pemilik senjata nuklir.
"Tiga pilar itu harus ditekankan dalam kerangka seimbang," kata Roy.
Dikatakannya, tenaga nuklir untuk kapal selam nuklir oleh negara bukan nuklir di bawah NPT, merupakan pertanyaan yang harus diselesaikan secara terbuka, secara komprehensif.
"Indonesia akan terus menggunakan berbagai forum, terutama multilateral terkait nonproliferasi dan disarmament untuk membahas isu ini lebih lanjut," kata Roy.
Mengenai kerja sama AUKUS antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat, Roy mengatakan Indonesia tidak mengomentari kerja samanya. Namun, menyoroti keputusan untuk salah satu aspek kerja sama yang membuka kesempatan bagi negara non nuklir untuk memiliki sebuah teknologi dengan tenaga nuklir yang relatif tidak dibenarkan di bawah traktat yang berlaku.
"Itulah yang kita pertanyakan. Kita juga angkat kekhawatiran kita, hal seperti ini hanya akan mempertinggi tensi yang ada di kawasan," jelasnya.
Roy menjelaskan, sebagai anggota Board of Govenor IAEA, Indonesia mengangkat masalah ini dengan sejumlah negara lain.
"Lagi-lagi tujuannya bukan untuk memblok, menghentikan, atau me-reverse apa yang sudah diputus negara-negara tersebut, tapi memberikan kejelasan secara internasional yang dapat berlaku umum. Jadi tidak hanya disalahgunakan, dimanfaatkan negara-negara tertentu atau negara-negara yang memiliki kapasitas secara teknologi tentunya, untuk melakukan seperti itu, kita ingin hal-hal tersebut ada pengaturannya," tandasnya.
Diketahui, Proposal Indonesia menjadi landasan, jalan tengah pembahasan mengenai program kapal selam bertenaga nuklir (Nuclear Naval Propulsion - NPP) dalam pertemuan yang digelar oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di Wina, Austria pada 12-16 September 2022.
Itu merupakan kelanjutan dari "10th Review Conference of the Parties to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons" (NPT RevCon) yang berlangsung pada 1 hingga 26 Agustus lalu di New York, Amerika Serikat.
另请阅读:
Dalam pertemuan NPT RevCon pada 1-26 Agustus 2022, Proposal Indonesia mampu menarik perhatian banyak negara peserta pertemuan, hingga akhirnya dijadikan rujukan, jalan tengah terkait NPP.
Pembahasan NPP dalam konteks nuklir internasional, merupakan pertama kalinya yang membahas kapal selam bertenaga nuklir, yang dimiliki negara bukan pemilik nuklir sesuai hukum internasional.
Isu utamanya seputar keamanan, keselamatan dan inklusifitas, dalam kerangka penggunaan nuklir secara damai, dalam konteks IAEA.