Bagikan:

JAKARTA - Indonesia tidak ingin terjebak tergesa-gesa mengakui atau tidak mengakui pemerintahan baru di Suriah, lebih penting untuk melihat perkembangan situasi di negara itu, setelah tumbangnya Pemerintahan Presiden Bashar al-Assad .

Kelompok pemberontak Suriah yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil menguasai ibu kota Damaskus dan membuat Presiden Assad tumbang pada 8 Desember.

Mohamed al-Bashir didapuk sebagai perdana menteri sementara pemerintahan transisi Suriah yang direncanakan hingga 1 Maret 2025 mendatang.

Ditanya mengenai perkembangan situasi di Suriah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Roy Soemirat mengatakan, ketika sebuah negara baru mengakhir konflik, tidak serta merta semuanya selesai begitu saja.

"Kita tetap harus melihat, bagaimana penerimaan dari seluruh masyarakat di suriah mengenai perkembangan saat ini. Saat ini banyak stake holder di suriah yang punya pandangan sendiri," jelas Roy dalam keterangan pers di Jakarta, Senin 16 Desember.

"Indonesia akan aktif membantu isu ini di berbagai forum, termasuk forum PBB, tidak terjabak hanya untuk tergesa-gesa pengakuan atau tidak mengakui," jelasnya.

"Karena bagi masyarakat internasional bukan itu, bagaima Suriah dapat kembali ke kehidupan normal, seluruh masyarkat bisa sepakat sebagai sebuah negara, baru kita lihat masalah penerimaan internasional lebih lanjut," urai Roy.

Diberitakan sebelumnya, Pemimpin HTS Abu Mohammad al-Jolani, Al Bashir dan PM pemerintahan terguling Mohammad Ghazi al-Jalali telah bertemu dan sepakat untuk mengkoordinasikan pengalihan kekuasaan dengan cara memastikan penyediaan layanan bagi masyarakat Suriah, seperti dikutip dari CNN.

"Masih banyak resolusi terkait Suriah yang dikeluarkan DK PBB harus diimplementasikan pihak-pihak yang selama ini terlibat langsung dalam konflik, baik dari pemerintahan yang baru dijatuhkan maupun sisi oposisi yang mengambil alih pemerintahan," pungkas Roy.