JAKARTA - Pemerintah China kembali memprotes kesepakatan pakta keamanan Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AUKUS) untuk menghadirkan kapal selam bertenaga nuklir di kawasan Pasifik.
"Kerja sama kapal selam bertenaga nuklir AUKUS merugikan upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan kawasan. AS, Inggris, dan Australia membentuk AUKUS untuk memajukan kerja sama pada kapal selam bertenaga nuklir dan teknologi militer canggih lainnya," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian di Beijing dilansir ANTARA, Kamis, 15 Agustus.
AUKUS adalah pakta keamanan trilateral antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AS) yang didirikan pada 15 September 2021. Berdasarkan pakta tersebut, AS dan Inggris akan membantu Australia untuk mengembangkan dan mengerahkan kapal-kapal selam bertenaga nuklir kelas Virgina, selain mengerahkan militer barat di kawasan Pasifik.
Menteri Pertahanan dan Wakil Perdana Menteri Australia Richard Marles menyebut kesepakatan terbaru yang ditandatangani di Washington berisi Australia akan bertanggung jawab atas risiko nuklir dari material yang dikirim.
"Langkah-langkah mereka memperburuk perlombaan senjata, melemahkan rezim nonproliferasi nuklir internasional, memicu politik blok dan konfrontasi militer, serta merusak perdamaian dan stabilitas regional," tambah Lin Jian.
China dan negara-negara di kawasan, menurut Lin Jian, telah lebih dari sekali menyatakan kekhawatiran serius dan penentangan tegas terhadap rencana AUKUS.
"Kerja sama kapal selam bertenaga nuklir AUKUS bertentangan dengan tujuan dan sasaran Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT) karena kerja sama tersebut melibatkan pemindahan reaktor kapal selam bertenaga nuklir dan sejumlah besar uranium yang telah diolah sehingga dapat berfungsi sebagai senjata dari negara-negara yang memiliki senjata nuklir ke negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir," jelas Lin Jian.
Lin Jian menyebut hal tersebut dapat menimbulkan risiko proliferasi nuklir yang serius.
"Sistem pengamanan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) saat ini tidak dapat memberikan pengamanan yang efektif terhadap hal itu ditambah adanya kontroversi besar mengenai penafsiran dan penerapan ketentuan pengamanan yang relevan," ungkap Lin Jian.
Banyak negara, kata Lin Jian, telah menyampaikan kekhawatiran mereka selama Sesi Kedua Komite Persiapan Konferensi Tinjauan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Non-Profliferation Treaty atau NPT) baru-baru ini di Swiss.
"China menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menanggapi secara serius dampak kerja sama kapal selam bertenaga nuklir AUKUS terhadap kewenangan dan efektivitas NPT serta dampak negatifnya terhadap rezim pengamanan IAEA," ungkap Lin Jian.
Masyarakat internasional juga perlu terus mengajukan proses demi mengatasi kekhawatiran dunia atas masalah hukum dan teknis yang terlibat dalam kerja sama AUKUS melalui IAEA, proses tinjauan NPT, dan cara lainnya.
"Hingga masyarakat internasional mencapai konsensus mengenai pengamanan dan masalah terkait lainnya, AS, Inggris, dan Australia tidak boleh melanjutkan kerja sama kapal selam bertenaga nuklir mereka," tegas Lin Jian.
BACA JUGA:
Lin Jian juga mengatakan China mengikuti kebijakan "tidak menggunakan senjata nuklir terlebih dahulu" dan strategi nuklir yang berfokus pada pertahanan diri.
"China selalu menjaga kekuatan nuklirnya pada tingkat minimal yang dipersyaratkan oleh keamanan nasional, dan tidak pernah terlibat dalam perlombaan senjata dengan siapa pun," kata Lin Jian.
Material nuklir untuk pengolahan nuklir di kapal selam akan ditransfer dari AS atau Inggris dalam "unit daya yang lengkap dan dilas" dan Australia akan bertanggung jawab atas penyimpanan serta pembuangan bahan bakar nuklir bekas dan limbah radioaktif dari unit daya nuklir yang ditransfer berdasarkan kesepakatan tersebut.
Saat ini terdapat 9 negara di dunia yang memiliki senjata nuklir yaitu Amerika Serikat, Rusia, China, Perancis, Inggris, Pakistan, India, Israel dan Korea Utara.
Berdasarkan kesepakatan NPT yang berlaku sejak 1970 dan diperpanjang tanpa batas waktu pada 1995, menyebutkan negara-negara yang mempunyai senjata nuklir diwajibkan untuk tidak mengalihkan kepemilikan atau kendali kepada negara penerima senjata nuklir atau alat peledak nuklir lainnya, dan tidak dengan cara apa pun membantu, mendorong atau membujuk negara-negara yang tidak mempunyai senjata nuklir untuk memproduksi, memperoleh atau kendali atas senjata atau perangkat tersebut.