JAKARTA- Komisi II DPR telah menyetujui opsi KPU untuk melakukan Pilkada Ulang di daerah yang dimenangkan kotak kosong pada 27 Agustus 2025. Hal ini terjadi ddi Pilbup Bangka dan Pilwakot Pangkalpinang jika sesuai dengan hasil hitung cepat atau quick count.
"Hari ini kita telah memutuskan suatu hal yang penting, satu hari sebelum DPR RI reses yaitu jadwal pemilihan gubernur, bupati dan walikota ulang pada 2025 sebagai konsekuensi dari lebih banyaknya yang memilih kolom kosong, dibanding paslon," ujar Ketua Komisi III DPR, Rifqinizami Karsayuda, Rabu, 4 Desember.
"Kepastiannya masih menunggu rekapitulasi suara di masing-masing kabupaten kota atau provinsi, tapi setidaknya, KPU RI dan seluruh penyelenggara pemilu dan Komisi II DPR RI telah memberikan kepastian hukum terkait dengan hal tersebut," sambungnya.
Sementara itu, daerah-daerah tersebut akan dipimpin oleh seorang penjabat (Pj), baik oleh Pj Gubernur, Pj Wali Kota ataupun Pj Bupati.
"Diisi oleh penjabat, karena itu nanti penjabatnya juga kita tongkrongin bersama. Mudah mudahan Kemendagri memberikan penjabat yang terbaik untuk melaksanakan ini. Karena dia akan menjabat hampir 1 tahun masa anggaran," kata Rifqi.
Dalam pelaksanaan Pilkada Ulang 2025, Rifqi menjelaskan Kabupaten/Kota tersebut tidak menyediakan APBD untuk menyelenggarakan hal itu.
Namun, pemerintah dalam hal ini Kemendagri menyatakan kesiapannya untuk melakukan berbagai exercisement termasuk bantuan APBN.
"Kalau dibutuhkan sebagaimana ruang regulasi yang dibuka UU Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur bupati dan walikota," jelasnya.
Rifqi menegaskan, Komisi II DPR menghormati proses rekapitulasi yang sedang berjalan, termasuk kemungkinan sengketa di Mahkamah Konstitusi oleh para paslon yang merasa memiliki hak konstitusional dan legal standing terkait hal itu.
Komisi II DPR menurutnya sepakat memilih opsi 27 Agustus 2025 ketimbang 24 September 2025 yang ditawarkan KPU lantaran agar daerah yang melakukan Pilkada ulang lebih cepat memiliki kepala daerah secara definitif.
"Lebih cepat lebih baik, karena kita ingin satu periodisasinya tetap di 2025. Agar kemudian periodenya 2025-2030. Karena kalau kemudian di akhir, khawatir akhirnya ada sengketa, masuk periodenya di 2026," kata Rifqi.
"Substantif, kita tidak ingin banyak merugikan pejabat definitif terpilihnya, karena periodenya harusnya lima tahun karena hal ini pasti akan kurang dari 5 tahun, dan yang paling penting rakyat daerah tersebut harus cepat mendapatkan keputusan dari pemilu yang dilakukan itu," pungkasnya.