Bagikan:

JAKARTA - Sikap DPR yang meminta Pemerintah hati-hati terhadap pernyataan bersama atau joint statement dari pertemuan bilateral Indonesia-China mendapatkan dukungan dari Pakar Hukum Internasional, Prof Hikmahanto Juwana. Fungsi pengawasan DPR sudah berjalan demi menjaga kedaulatan NKRI.

"Pengawasan oleh DPR RI perlu didukung dalam menjaga dan merawat NKRI baik kedaulatan dan hak berdaulatnya," ujar Prof Hikmahanto, Senin 18 November.

Guru Besar Universitas Indonesia (UI) itu pun mendorong DPR untuk memanggil Menteri Luar Negeri Sugiono setelah kembali dari luar negeri dalam rangka mendampingi lawatan Presiden Prabowo ke sejumlah negara. Prof Hikmahanto menilai pemanggilan tersebut untuk memastikan bahwa Indonesia tidak mengubah kebijakan terkait isu Laut China Selatan (LCS).

"Pemanggilan ini terkait dengan paragraf 9 dalam Pernyataan Bersama Presiden Indonesia dan Presiden Xi Jinping,” jelasnya.

Pada poin ke-9 dalam joint statement antara Presiden Prabowo dengan Presiden China Xi Jinping disebutkan bahwa kedua pemerintahan ‘mencapai kesepahaman tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini tengah berada dalam situasi tumpang tindih klaim’.

Poin tersebut dipandang banyak pihak sebagai perubahan sikap Indonesia terhadap klaim kedaulatan wilayah China di Laut China Selatan terkait nine dash line (sembilan garis putus-putus).

Sebagai informasi, '9-Dash Line' merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China. Nine Dash Line menjadi wilayah historis LCS seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen wilayahnya diklaim China sebagai hak maritim historisnya. Akibat klaim sepihak itu, sejumlah negara terlibat konflik dengan China seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam.

"DPR juga perlu melakukan pendalaman atas penyusunan paragraf 9 Joint Statement sehingga diketahui secara jelas yang diinginkan serta mengetahui siapa yang menjadi pengusul," papar Prof Hikmahanto.

Menurut Prof Hikmahanto, pendalaman dari DPR terkait hal ini diperlukan untuk memberi assurance kepada negara-negara yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan.

“Bahwa Indonesia tidak pernah mengubah kebijakan untuk tidak mengakui Sembilan Garis Putus,” tegas Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu.

Oleh karenanya, Prof Hikmahanto menilai penting bagi DPR untuk mengadakan konsultasi dengan pihak Pemerintah. Dalam hal ini bisa melalui rapat bersama Menlu.

“Itu untuk memastikan bila ada kerjasama dengan Pemerintah China di bidang kemaritiman, tidak terkait dengan pengakuan secara eksplisit dan implisit klaim Sembilan Garis Putus China yang tidak dikenal dalam UNCLOS," ungkap Prof Hikmahanto.

Sebelumnya sejumlah pihak mempertanyakan isi dari poin sembilan joint statement antara Prabowo dengan Xi Jinping. Hal ini lantaran hingga berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia memiliki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak China terhadap 9-Dash Line.

Indonesia tidak mengakui sembilan garis putus karena klaim itu tidak dikenal dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 di mana Indonesia dan China adalah negara peserta. Namun dengan adanya poin 9 dari joint statement RI-China, hal tersebut bisa ditafsirkan bahwa Indonesia mengakui zona maritim yang saling bertumpang tindih atau mengakui 9-Dash Line.

Adapun Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin menyebut kerja sama yang dilakukan Indonesia-China kali ini berpotensi melanggar hukum. Pasalnya Indonesia telah meratifikasi UNCLOS sebagai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (UNCLOS).

"Jika kita melaksanakan kerjasama ekonomi perikanan di wilayah itu dengan pihak yang kita anggap klaimnya bertentangan