Bagikan:

JAKARTA - Kasus kriminalisasi guru di Indonesia terus menjadi sorotan publik. Berbagai insiden kekerasan  hingga pemolisian  yang dialami guru, khususnya dalam konteks pengajaran dan pendisiplinan siswa, menunjukkan betapa rentannya tenaga pendidik terhadap jeratan hukum saat menjalankan tugasnya.

Dalam upaya memperkuat pemahaman hukum dan advokasi untuk guru, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menggelar webinar bertajuk “Waspada Kriminalisasi Guru, Pahami Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Pendidik”.  Kegiatan yang bertujuan memperkuat pemahaman hukum bagi para guru ini diadakan secara daring akhir pekan lalu dan dihadiri lebih dari 200 peserta, baik yang merupakan anggota maupun non anggota KGSB. 

Dalam sambutannya, pendiri KGSB Ruth Andriani  menegaskan pentingnya pembahasan isu masalah ini sebagai upaya perbaikan sistem perlindungan hukum untuk mendukung tugas guru dalam melaksanakan tugas pendidikannya dengan aman dan nyaman. Menurutnya, kasus kriminalisasi guru sering kali terjadi karena kurangnya pemahaman akan batasan dalam mendisiplinkan siswa. Ia menyoroti bagaimana Undang-Undang Perlindungan Anak kerap menjadi dasar pemolisian terhadap guru.

“Kita perlu dukungan hukum yang jelas agar tindakan pendisiplinan tidak dianggap sebagai tindak kriminal. Namun, guru juga harus memahami batasan dalam mendisiplinkan siswa, tidak boleh ada kekerasan, baik fisik maupun verbal,” ujarnya tegas.

Rekomendasi Pembentukan Paralegal untuk Guru

Asfinawati, mantan Direktur YLBHI periode 2017-2021 yang sekarang aktif sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Wakil Ketua Jentera Bidang Pengabdian Masyarakat periode 2020-2024 menjelaskan,  perlindungan hukum bagi guru sebenarnya telah diatur dalam berbagai regulasi, antara lain Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pada bagian kedua tentang Hak dan Kewajiban, sesuai pasal 14 Ayat 1(f), guru memiliki kebebasan untuk memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, hingga sanksi kepada siswa sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik dan peraturan perundang-undangan. 

Menurutnya, Undang-undang itu sebenarnya sudah cukup kuat dalam mengatasi masalah-masalah yang potensial menjadi alat untuk mengkriminalisasi guru. Namun ia mengakui,  implementasi perlindungan di lapangan sering kali tidak berjalan sesuai harapan.  Banyaknya kasus kriminalisasi guru yang terjadi adalah cerminan tidak dilaksanakannya hukum acara pidana secara benar serta kurangnya literasi hukum, baik di kalangan guru maupun masyarakat. “Hukum sebenarnya sudah cukup kuat untuk melindungi guru, tetapi yang sering terjadi adalah salah penerapan hukum acara pidana,” katanya.

Terkait dengan upaya perlindungan terhadap tugas guru secara riil di lapangan, ia merekomendasikan pembentukan paralegal sebagai salah satu langkah advokasi hukum untuk guru. Paralegal adalah orang yang memiliki keterampilan hukum dan telah mengikuti pelatihan untuk membantu masyarakat yang bermasalah dengan hukum, namun bukan pengacara. Paralegal bekerja di bawah bimbingan pengacara atau dengan kemampuan hukum yang dinilai cukup.

Mantan Direktur LBH Jakarta periode 2006-2009 tersebut menjelaskan bahwa paralegal dapat menjadi pendamping hukum pertama bagi guru yang menghadapi masalah hukum. Keberadaan paralegal ini penting mengingat kebanyakan LBH berada di Pulau Jawa dan maksimal di ibukota kabupaten, sementara banyak guru yang domisilinya tersebar di berbagai pelosok tanah air.

“Paralegal adalah solusi praktis, terutama bagi guru di daerah pelosok yang jauh dari akses layanan hukum  ormal. Mereka bisa membantu menyusun kronologi, mendampingi di proses kepolisian, hingga memberikan konsultasi non-litigasi,” ujarnya seraya menambahkan bahwa pertolongan pertama yang paling penting adalah pendampingan pada BAP pertama yang sangat menentukan proses hukum selanjutnya.

Selain itu, Asfinawati juga merekomendasikan langkah strategis dalam bentuk kerja sama yang lebih erat, seperti penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU), antara organisasi guru dan kepolisian, untuk melindungi guru dalam menjalankan tugasnya.  Sebelum itu, tambahnya, alangkah baiknya  perlindungan secara internal di sekolah juga diperkuat dengan adanya Satuan Tugas (Satgas). Satgas ini tidak hanya bertugas untuk melindungi guru  namun juga siswa dari berbagai potensi perundungan, pelecehan seksual dan ancaman yang membahayakan.

Lebih jauh lagi, webinar juga menyoroti perlunya memperkuat serikat profesi dan komunitas guru karena pada dasarnya guru juga tidak mungkin menyelesaikan permasalahan hukum seorang diri. Asfin mengajak serikat profesi guru dan komunitas semacam KGSB untuk membuat kajian tentang apa yang menjadi penyebab berbagai masalah hukum tersebut dari kedua sisi. Yaitu dari sisi apa yang menimpa guru dan di sisi lain apa yang dirasakan siswa. 

Terkait sinergi antar organisasi,  Ketua STH Indonesia Jentera Aria Suyudi memberi apresiasi terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan KGSB. Aria yang baru saja dilantik sebagai Ketua STH Jentera pada Jumat (15/11) lalu menegaskan, institusi yang dipimpinnya memandang penting upaya-upaya semacam ini untuk meningkatkan literasi hukum dan pemberdayaan hukum di masyarakat. Tujuan akhirnya agar masyarakat benar-benar mampu menjadi penyeimbang dan pemain aktif dalam proses demokrasi di Indonesia.

Batasan Pendisiplinan agar Tak Melanggar Hukum

Aria berpendapat, posisi guru yang sangat rentan  kriminalisasi merupakan akibat adanya potensi multitafsir hukum. Namun di atas itu semua, ia memberi penekanan  bahwa kunci keharmonisan hukum dalam hubungan berbagai pihak adalah pemahaman bagaimana hukum mengatur serta kepahaman atas batas-batas interaksi dengan pihak ketiga.

Asfinawati kemudian memberikan saran agar guru melakukan proses perenungan terlebih dahulu ketika terseret masalah hukum dalam konteks pengajaran.  “Semestinya, hal pertama harus dilakukan adalah merenungkan dulu apa yang menjadi penyebab sehingga timbul masalah itu. Namun yang sering terjadi, kita sibuk dulu dengan akibatnya,” paparnya.

Ia juga memberikan pandangan tentang cara mendisiplinkan siswa yang tidak melanggar batasan hukum.  Menyentuh tubuh siswa atau menerapkan bentuk hukuman yang melibatkan kekerasan, baik fisik maupun  psikologis, tegasnya,  dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia yang sudah diatur dalam konvensi internasional. Sebagai alternatif, ia merekomendasikan bentuk hukuman sosial yang lebih mendidik, seperti tugas berkomunitas atau aktivitas sosial.

“Inspirasi tindakan pendisiplinan harus dipikirkan ulang, agar tidak hanya sesuai hukum tetapi juga tetap memberikan nilai pendidikan bagi siswa,” sarannya.

Lebih jauh, webinar ini juga menyoroti pentingnya penegakan kode etik profesi guru yang dapat menjadi panduan dalam menangani kasus hukum terkait pendisiplinan. “Kode etik ini tidak hanya akan menjadi pedoman bagi guru tetapi juga bagi polisi dan pihak hukum lainnya dalam menilai apakah tindakan guru masuk kategori pelanggaran hukum atau tidak,” jelasnya.

Acara ditutup dengan harapan agar webinar ini dapat menjadi titik awal bagi perubahan sistemik dalam melindungi guru dari kriminalisasi. “Tidak ada kebebasan tanpa usaha. Kebebasan harus diperjuangkan dan dimenangkan.  Jadi mari kita bersama-sama memperjuangkan perlindungan hukum bagi guru agar mereka bisa mendidik dengan aman dan nyaman,” ujar Asfinawati mengutip kata-kata politisi Amerika A. Philip Randolph dalam statemennya.

Tak lupa Ruth mengajak semua pihak, dari guru hingga masyarakat umum, untuk berperan aktif dalam mendukung tenaga pendidik dalam menjalankan tugasnya.  Webinar ini merupakan bukti komitmen KGSB dalam memperjuangkan hak-hak guru, sekaligus mendorong dialog yang konstruktif untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih baik di Indonesia.