Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Indonesia berencana untuk menerbitkan surat utang baik dalam bentuk surat utang negara (SUN), surat berharga syariah negara (SBSN) maupun global bond. Hal itu dilakukan untuk menambah likuiditas di dalam penanganan dampak pandemi virus corona atau COVID-19 di dalam negeri.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2020. Di dalam aturan tersebut, Bank Indonesia (BI) sebagai last resort dapat membeli surat utang tersebut dari pasar primer. Namun, hal itu dilakukan BI jika tidak terserap oleh pasar domestik maupun global.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo juga berkali-kali menekankan, bahwa skema yang dikeluarkan pemerintah tersebut tidak akan membuat Indonesia kembali mengulang kasus bantuan likuiditas bank Indonesia atau dikenal sebagai BLBI.

Seperti diketahui, kasus BLBI terjadi pasca krisis tahun 1997-1998 di mana bank sentral menerapkan skema bantuan likuiditas kepada bank-bank sistemik yang sedang mengalami masalah. Bantuan kucuran dana yang dikeluarkan BI saat itu sebanyak Rp144,5 triliun yang diberikan kepada 48 bank yang terkena penarikan besar-besaran setelah krisis moneter tersebut.

Para pemegang saham bank penerima BLBI harus mengembalikannya dengan sejumlah skema. Namun, hingga 2007, banyak pengutang BLBI yang belum melunasi kewajibannya. Bahkan, hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2008 pun menunjukkan ada penyimpangan penyaluran BLBI dan kelalaian yang menimbulkan kerugian negara Rp138,4 triliun.

"Mohon jangan diartikan ini sebagai bailout, mohon jangan diartikan ini sebagai BLBI. Ini bukan BLBI. Bagaimana defisit fiskal dibiayai dengan dana-dana pemerintah yang ada dan relokasi anggaran, hingga kemudian penerbitan SUN dan SBSN. BI sebagai last resort dan kami berkoordinasi sangat erat agar dasar pembiayaan fiskal moneter tetap prudent," katanya, dalam video conference bersama wartawan, di Jakarta, Kamis, 2 April.

Perry menegaskan, bank sentral akan menjaga tata kelolanya lewat koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari empat lembaga yakni BI, LPS, OJK, dan Kementerian Keuangan.

"Sehingga ada check and balance di dalam pengambilan keputusan. Kami lakukan ini sebagai pencegahan dari awal atau langkah-langkah antisipasi," ucapnya.

Di samping itu, Perry menilai, kondisi krisis pada 1998 dan 2008 juga berbeda dengan saat penyebaran pandemi COVID-19 saat ini. Terutama kondisi permodalan dan kesehatan aset industri jasa keuangan.

Perry menjelaskan, jika satu waktu pasar tidak lagi memungkinkan untuk menyerap, karena bisa menyebabkan suku bunga surat utang meningkat tinggi dan tidak rasional. Dalam kondisi tersebut barulah BI masuk untuk membeli. Skema ini tidak pernah dilakukan BI sebelumnya, karena akan menimbulkan kenaikan uang beredar dan berdampak pada inflasi.

Menurut Perry, pilihan ini disiapkan karena kondisi yang saat ini terjadi dinilai tidak normal. Meski begitu, ia memastikan, pembelian surat utang oleh BI adalah pilihan terakhir, jika diperlukan.

Setelah kondisi kembali normal dan pasar memiliki kapasitas untuk memberi, kata Perry, BI akan kembali angkat kaki dari opsi pembelian surat utang di pasar primer.

"Kami akan lakukan lagi di pasar sekunder, untuk stabilisasi nilai tukar rupiah," jelasnya.

Perry meyakini, dengan langkah yang diambil pemerintah pusat dan daerah, yakni berupa pembatasan sosial yang lebih luas, penyebaran wabah COVID-19 diharapkan dapat lebih ditekan sehingga biaya kesehatan dapat terkendali.

"Jadi jangan disamakan dengan BLBI. Di sini BI sebagai last resort untuk defisit fiskal dan ada koordinasi empat lembaga, kita sama-sama menjaga kesehatan ekonomi," ucapnya.