Bagikan:

JAKARTA - Harga minyak mentah dunia anjlok bukan hanya karena mewabahnya virus corona atau COVID-19, namun juga karena masih berlanjutnya perang harga antara Arab Saudi dan Rusia hingga saat ini. Karena anjloknya harga minyak mentah dunia, pemerintah Indonesia diminta untuk segera menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.

Sebulan yang lalu, 24 Februari harga West Texas Intermediate (WTI) mencapai di atas 50 dolar Amerika Serikat dan saat ini sudah turun menjadi separuhnya, yaitu kurang dari 25 dolar Amerika Serikat.

Penurunan harga minyak internasional di tiga bulan pertama 2020 itu ternyata tidak diikuti oleh PT Pertamina. Harga BBM non subsidi yang mengikuti harga keekonomian duniapun tidak berubah.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, penurunan harga sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah, sebab di dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Nasional (APBN) 2020 harga yang tertulis adalah 63 dolar Amerika Serikat. Sementara di lapangan harga sudah merosot jauh diangka 20 hingga 30 dolar Amerika Serikat.

"Maka tentu saja penerimaan yang sesungguhnya di riil di kita baik melalui PNPB Migas itu jelas jauh realisasinya dengan yang ada di APBN. Agar tidak terjadi deviasi yang berlebihan maka otomatis nanti di APBN ataupun Perppu itu memang harus diubah," kata Tauhid, kepada VOI, di Jakarta, Senin, 30 Maret.

Tauhid menjelaskan, sebagian besar BBM olahan yang ada di Indonesia, adalah dari impor. Tentu saja, menurut Tauhid, berkurang harganya, karena harga pasaran harga minyak mentah menjadi 20 sampai 30 dolar Amerika Serikat, sehingga pemerintah membayar jauh lebih rendah dari yang ditetapkan dalam APBN 2020.

"Harusnya harga di lapangan itu turun. Baik yang RON 92 ke atas, ataupun premium paling rendah itu harusnya sudah turun dari harga yang dipasarkan. Karena harga dasarnya rendah," jelasnya.

Selain itu, pemerintah juga harus mengatur ulang tarif listrik. Seperti diketahui kebanyakan pembangkit listrik yang ada di Indonesia mesih menggunakan BBM sebagai penggerak mesin. Tauhid mengatakan, karena minyak mentah dunia sudah merosot jauh maka tarif listrik perlu disusuaikan dengan harga minyak dunia saat ini.

"Kan penghitungan tarif dasar listrik memang salah satunya menggunakan harga minyak, harusnya sudah disesuiakan. Apalagi sebagian besar pembangkit listrik kita menggunakan minyak terutama solar dan sebagainya. Mengikuti perkembangan internasional saja, harusnya kalau memang turun ya turun begitu," jelasnya.

Namun, Tauhid mengatakan, untuk menurunkan tarif listrik memang tidak semudah menurunkan harga BBM. Sebab, diperlukan rapat antara pemerintah dan DPR untuk menbahasnya. Sementara, untuk menurunkan harga BBM hanya diperlukan surat keputusan menteri.

"Harus turun dong, nah tinggal ditetapkan. Kalau untuk APBN dan listrik harus melalui persidangan. Tapi kalau harga BBM di pasaran tidak perlu menggunakan persidangan di DPR, cukup Kementerian ESDM menetapkan harga baru. Memang peraturan perundangan itu tiga bulan harus ditinjau mengikuti harga internasional," jelasnya.

Sependapat, Anggota DPR RI Komisi VII Rofik Hananto meminta, pemerintah untuk segera menurunkan harga BBM khusus penugasan yaitu premium dan BBM bersubsidi yakni solar dengan tetap memperhatikan tingkat harga keekonomian dalam rangka menjamin akses masyarakat bawah terhadap BBM tersebut.

Rofik juga meminta, harga BBM nonsubsidi seperti pertalite dan pertamax disesuaikan dengan daya beli masyarakat saat ini dengan tetap menjamin pasokan dan distribusi ketersediannya.

Selain itu, Rofik mengatakan, adanya tren penurunan harga minyak mentah dunia hingga 55 persen, jelas menekan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik. Penekanan BPP Listrik bisa sampai angka 20 persen, terutama diambil dari elemen BBM karena energi primer pembangkit listrik yang termahal adalah BBM.

"Pemerintah (dapat) memberikan kompensasi kepada kelompok masyarakat rentan. Kelompok ini yang paling terdampak pandemi virus COVID-19, mereka meliputi pekerja informal dan pekerja harian," kata Rofik, dalam keterangan tertulis, Minggu, 29 Maret.

Rofik menjelaskan, skema kompensasi dapat berupa penurunan tarif listrik untuk golongan 900 VA dan 1300 VA. Penurunan struktur tarif tersebut, diharapkan dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat.

Menurut Rofik, struktur tarif tersebut diturunkan minimal Rp250 per kWh 18 persen, selama empat bulan ke depan, mulai bulan April sampai Juli.

"Dengan turunnya harga BBM dan tarif listrik ini, setidaknya akan membantu ekonomi masyarakat, di tengah lambatnya ekonomi akibat wabah virus corona," tuturnya.