JAKARTA - Sekretaris Utama (Sestama) Badan SAR Nasional (Basarnas) periode 2009-2015 Max Ruland Boseke didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp20,44 miliar terkait kasus dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan kendaraan pengangkut penyelamat pada tahun 2014.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Richard Marpaung mengatakan kerugian negara disebabkan lantaran dalam kasus tersebut, Max diduga telah melakukan korupsi bersama-sama dengan Direktur CV Delima Mandiri William Widarta serta Kepala Sub Direktorat Pengawakan dan Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Basarnas Anjar Sulistiyono.
"Perbuatan korupsi bertujuan untuk memperkaya Max sebesar Rp2,5 miliar dan William sebesar Rp17,94 miliar," kata JPU KPK dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Dengan demikian, ketiganya didakwa melanggar dan terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
JPU menjelaskan kasus bermula saat Max menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Tahun Anggaran (TA) 2014, Anjar diangkat menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) TA 2014, serta Kepala Basarnas periode 2013-2014 Muhammad Alfan Baharuddin ditetapkan sebagai Pengguna Anggaran TA 2014 berdasarkan Surat Keputusan Nomor: SK.KBSN-167/XI/BSN-2013 tanggal 18 November 2013 yang ditandatangani oleh Alfan.
Sementara itu sejak tahun 2006, William telah mengikuti berbagai lelang pekerjaan pengadaan, termasuk lelang pekerjaan pengadaan di Basarnas dengan menggunakan CV Delima Mandiri.
Selain menggunakan CV Delima Mandiri, William juga menggunakan berbagai perusahaan lain dalam beberapa lelang pekerjaan pengadaan dengan maksud sebagai pemenang lelang maupun sebagai perusahaan pendamping pada saat proses lelang, namun CV Delima Mandiri tidak pernah memenangkan lelang paket pekerjaan di Basarnas.
Untuk itu pada Maret 2013, Max, yang sudah kenal dekat dengan William, menyampaikan kepada Alfan untuk memasukkan pekerjaan pengadaan truk angkut personel 4WD dan kendaraan pengangkut penyelamat atau rescue carier vehicle (RCV) dalam Revisi Usulan Program Kerja TA 2014.
JPU mengungkapkan pengajuan tersebut kemudian disetujui oleh Alfan, sehingga Max meminta agar Direktur Sarana dan Prasarana Basarnas Rudy Hendro Satmoko untuk memasukkan pengadaan truk angkut personel 4WD dan kendaraan pengangkut penyelamat dalam Revisi Usulan Program Kerja TA 2014.
Selanjutnya, William bersama Riki Hansyah dan Yudi Muharam (masing-masing selaku staf pemasaran CV Delima Mandiri) menyusun penawaran harga, spesifikasi teknis, dan desain gambar kendaraan untuk pekerjaan pengadaan truk tersebut untuk diserahkan kepada Staf Perencanaan Direktorat Sarana dan Prasarana Basarnas Hafidh Rahmadi.
Dalam penyusunan harga, telah ditambahkan (mark up) 15 persen dengan rincian 10 persen untuk dana komando dan 5 persen untuk keuntungan perusahaan pemenang lelang dengan dua perincian.
Pertama, pada September 2013, Rudy menandatangani Term of Reference (ToR) Sarana SAR darat untuk pekerjaan pengadaan kendaraan pengangkut penyelamat TA 2014 sebanyak 75 unit dengan harga satuan Rp650 juta atau total Rp48,75 miliar.
Kedua, pada Oktober 2013, Rudy menandatangani ToR Sarana SAR darat untuk pekerjaan pengadaan truk angkut personil 4WD TA 2014 sebanyak 17 unit dengan harga satuan Rp1,4 miliar atau total sebesar Rp23,8 miliar.
BACA JUGA:
Setelah itu pada 5 Desember 2013, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan RI menandatangani Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Petikan TA 2014 Nomor SP DIPA-107.01.1.414370/2014, yang di dalamnya terdapat anggaran untuk pengadaan truk angkut personil 4WD dan kendaraan pengangkut penyelamat.
Rinciannya, pengadaan truk angkut personel 4WD untuk 34 unit dengan harga satuan Rp1,4 miliar sehingga totalnya Rp47,6 miliar serta 75 unit dengan harga satuan Rp650 juta sehingga totalnya Rp48,75 miliar.
Namun, tanpa melakukan pengkajian ulang atas dokumen pengadaan, JPU melanjutkan, Anjar menjadikan dokumen pengadaan tersebut sebagai Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan dasar penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dalam pengadaan, sehingga HPS tidak dikalkulasikan berdasarkan keahlian serta tidak didasarkan pada data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya William mengikuti proses pelelangan dan melaksanakan pekerjaan dengan tidak mematuhi peraturan yang berlaku sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara dari selisih kelebihan pencairan uang pelaksanaan pekerjaan sebesar Rp20,44 miliar.
Selisih tersebut berasal dari pencairan uang pelaksanaan pengadaan truk angkut personel 4WD sebesar Rp10,05 miliar karena terdapat pembayaran senilai Rp42,55 miliar, sedangkan realisasi pembiayaan hanya Rp32,5 miliar.
Selain itu, selisih pencairan dana berasal pula dari pelaksanaan pengadaan kendaraan pengangkut penyelamat sebesar Rp10,38 miliar lantaran adanya pembayaran sebesar Rp43,54 miliar, sedangkan realisasi pengadaan hanya sebesar Rp33,16 miliar.