Bagikan:

JAKARTA - Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) 2011-2015 Reyna Usman didakwa merugikan negara sebesar Rp17,68 miliar terkait kasus dugaan korupsi pengadaan sistem proteksi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Kemnaker tahun 2012.

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Luki Dwi Nugroho mengatakan kerugian negara disebabkan lantaran Reyna bersama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Sistem Proteksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Tahun 2012 I Nyoman Darmanta serta Direktur PT Adi Inti Mandiri (AIM) Karunia, yang juga menjadi terdakwa, telah memperkaya  atau menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya Karunia senilai besaran kerugian negara.

"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara," kata Luki dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dilansir ANTARA, Kamis, 13 Juni.

Atas perbuatannya, Reyna terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jaksa membeberkan kasus bermula saat Karunia mengajukan izin perusahaan untuk jasa pelatihan TKI dan sepakat memberikan bayaran (fee) senilai Rp3 miliar kepada Reyna Usman yang kala itu masih menjabat sebagai Sekretaris Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kemnaker pada 2010.

Kemudian pada 25 April 2011, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Terpadu Perlindungan TKI di Luar Negeri untuk menyusun daftar inventarisasi permasalahan penempatan 87 dan perlindungan TKI di luar negeri serta mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Tim Terpadu menghasilkan 13 rekomendasi, yang salah satunya menyarankan pelaksanaan dengan segera integrasi sistem informasi dan basis data TKI yang dapat diakses oleh setiap kementerian dan instansi terkait.

Selanjutnya pada 30 Juni 2011, sambung dia, Reyna diangkat sebagai Dirjen Binapenta Kemnaker tahun 2011-2015. Sebagai tindak lanjut rekomendasi Tim Terpadu sebelumnya, Reyna menyerahkan notula hasil koordinasi untuk diteruskan ke Biro Perencanaan Kemnaker untuk perencanaan dan penyusunan anggaran.

"Hasilnya, dalam rencana anggaran dicantumkan pekerjaan pembangunan sistem aplikasi dan perangkat pengawasan senilai Rp20 miliar yang dianggarkan di Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PTKLN) Ditjen Binapenta," ucap dia.

Setelah itu, lanjut Jaksa, Reyna menawarkan pekerjaan pengadaan sistem pengawasan dan pengelolaan data proteksi TKI pada Ditjen Binapenta Kemnaker kepada Karunia dan disetujui oleh Karunia.

Lalu pada 5 Januari 2012, I Nyoman Darmanta diangkat sebagai PPK Pengadaan Sistem Proteksi TKI. Reyna, kata dia, kemudian mengarahkan Karunia untuk berkoordinasi dengan I Nyoman Darmanta terkait pengadaan tersebut dan memerintahkan I Nyoman Darmanta untuk menggunakan dokumen perencanaan pengadaan yang dibuat oleh pihak swasta, Bunamas dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan spesifikasi teknis.

Selain itu, Reyna meminta pihak swasta lainnya, Dewa Putu Santika untuk menjadi penghubung dengan Karunia terkait lelang dan pelaksanaan pekerjaan pengadaan tersebut.

"Dari permintaan itu, Dewa meminta bayaran sebesar lima persen dari nilai proyek dan disetujui oleh Karunia," tutur Jaksa.

Atas perintah Karunia, Bunamas menemui I Nyoman Darmanta dan memberikan dokumen spesifikasi teknis, desain sistem, dan lampiran harga untuk tiap bagian pekerjaan.

Jaksa melanjutkan, tanpa melakukan pengkajian ulang atas dokumen tersebut, I Nyoman Darmanta menjadikan dokumen tersebut sebagai Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan dasar penetapan HPS senilai Rp19,82 miliar dalam pengadaan sistem pengawasan dan pengelolaan data proteksi TKI, tanpa dikalkulasikan berdasarkan keahlian, serta tidak didasarkan pada data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Reyna kemudian memerintahkan I Nyoman Darmanta untuk melaksanakan lelang pengadaan sistem pengawasan dan pengelolaan data proteksi TKI tanpa menggunakan konsultan perencana, tetapi menggunakan dokumen perencanaan yang berasal dari PT AIM.

Dalam dua kali lelang yang diselenggarakan, kata Jaksa, PT AIM sudah dikondisikan agar menjadi pemenang lelang, dengan nilai penawaran terkoreksi sebesar Rp19,77 miliar.

Pada 7 Desember 2012, Karunia menerima pembayaran uang muka 20 persen dari nilai kontrak yang sudah dipotong pajak Rp3,59 miliar dan memberikan biaya sebesar Rp500 juta kepada Dewa. Tetapi selain itu, Karunia juga beberapa kali telah memberikan uang kepada Dewa seluruhnya sebesar Rp80 juta.

Meskipun pekerjaan pengadaan sistem pengawasan dan pengelolaan data proteksi TKI belum selesai, Jaksa menyebutkan I Nyoman Darmanta tetap menyetujui pembayaran 100 persen kepada Karunia pada 17 Desember 2012 dengan nilai sebesar Rp14,09 miliar.

Setelah dilakukan serah terima hasil pekerjaan, sistem pengawasan dan pengelolaan data proteksi TKI yang dibangun PT AIM tidak dapat digunakan, baik untuk migrasi data maupun integrasi sistem antara sistem proteksi TKI milik Kemnaker dengan sistem informasi yang sudah ada milik para pemangku kepentingan terkait.

"Dengan demikian sistem tidak dapat dimanfaatkan oleh negara sesuai dengan tujuan pengadaan," kata Jaksa menambahkan.