JAKARTA – Masalah diskriminasi akibat keberagaman budaya nampaknya masih menjadi permasalahan yang serius di Australia.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh perusahaan tenaga kerja Indeed tentang keberagaman di tempat kerja di Australia dengan melibatkan 2.060 responden dari kelompok usia kerja menunjukkan, terdapat kesenjangan antara pekerja dari kelompok minoritas (imigran) dengan pekerja yang merupakan warga asli Australia.
Menurut hasil survei tersebut, sebanyak 84 persen pekerja Australia mengakui pentingnya multi budaya dan inklusi di tempat kerja. Namun, hanya 60 persen yang tempat kerjanya beragam.
Selain itu, sebanyak 81 persen pekerja Australia meyakini bahwa pekerja dari latar belakang etnis atau budaya yang berbeda mendapat perlakuan sama di tempat kerja.
Akan tetapi, faktanya, hanya 73 persen pekerja dari kelompok minoritas yang berpandangan demikian. Dan sebanyak 62 persen pekerja dengan latar belakang minoritas mengaku menyembunyikan identitas mereka agar tidak mendapat perlakuan diskriminatif.
Sembunyikan identitas selama 17 tahun
Seperti halnya yang dialami oleh Laura McConnell Conti yang menyembunyikan identitas aslinya sebagai seorang Kristen fundamentalis selama 17 tahun kariernya.
Dikisahkan Laura, sampai usia 20-an, dia tidak pernah bepergian, menonton TV, atau menikmati budaya populer lainnya. Sebab aktivitas seperti itu tidak tidak disukai oleh orang-orang yang berada di komunitasnya.
“Saya merasa seperti alien, ada bagian dari diriku yang harus aku pisahkan. Seperti ganjalan besar yang tidak ingin kita bicarakan,” ujar Laura, dikutip VOI dari ABC News, Kamis 8 April.
“Ketika segala hal dan pengalaman hidup kita sangat berbeda dengan kolega, manajer, dan pemimpin di tempat kerja, hal itu membuat kita terisolasi,” sambungnya.
Selama bekerja di perusahaan, dia mengaku belum pernah mendapatkan lingkungan kerja yang benar-benar inklusif. Atas dasar ini, Laura meninggalkan dunia korporat dan memulai bisnis online-nya sendiri.
Diminta ganti nama agar terdengar seperti orang Australia
Lain hal nya dengan Duleesha Boteju, perempuan keturunan Sri Lanka yang tumbuh besar di pinggiran Kota Melbourne.
Saat masih kecil, keberagaman bukanlah suatu hal yang mengganggunya. Akan tetapi, semuanya berbeda saat memasuki dunia kerja.
Dia mengaku mulai mendapatkan diskriminasi di tempat kerja, yakni, Duleesha kerap disamakan dengan seorang pekerja lainnya yang secara kebetulan warna kulitnya sama-sama cokelat.
“Saya dan teman itu sama sekali tidak mirip. Kami emmang sama-sama berkulit sokelat. Mereka tidak bisa mengerti bahwa kami ini dua orang yang berbeda,” tutur Duleesha kepada ABC.
Pengalaman diskriminasi lainnya yang pernah dirasakan oleh Duleesha adalah saat dia mencoba melamar sebagai seorang administrator kantor.
Pekerjaan itu, membuatnya harus menjawab telepon dari publik. Saat ditawari pekerjaan tersebut, Duleesha diminta untuk mengganti nama.
“Dia bilang, apakah kamu bisa mempertimbangkan untuk mengubah namamu menjadi sesuatu yang terdengar lebih khas Australia?” ungkapnya.
Dia pun kaget mendengar permintaan tersebut. Namun karena sangat membutuhkan pekerjaan, Duleesha pun meng-iyakan permintaan tersebut.
“Saya iyakan. Panggil saya Dee. Sampai sekarang bilang orang memanggilku seperti itu, saya tidak menyukainya,” ungkap Duleesha.