JAKARTA - Lebih dari 100 warga Korea Utara hilang setelah ditangkap polisi rahasia ketika mencoba membelot dari negara yang terisolasi itu atau bahkan karena mencoba menelepon kerabat di Korea Selatan.
Hal ini disampaikan kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Seoul, Kamis, 31 Oktober dikutip dari Reuters. Kelompok Kerja Keadilan Transisi (TJWG) merilis laporan yang merinci pola penghilangan paksa melalui studinya berdasarkan wawancara dengan 62 pelarian Korea Utara di Korea Selatan.
Puluhan ribu warga Korea Utara telah membelot dalam beberapa dekade sejak Perang Korea berakhir pada tahun 1953 dengan gencatan senjata, dengan banyak dari mereka yang ditangkap atau dipulangkan dikirim ke kamp penjara atau fasilitas penahanan lainnya sebelum dibebaskan.
Kelompok tersebut mengidentifikasi 113 orang dalam 66 kasus penghilangan, termasuk kasus-kasus dalam arsip, membuka tab baru yang dijalankan dengan organisasi internasional lainnya, serta peta yang menggambarkan rute transfer.
Dari 113, 80 atau 90 persen ditangkap di dalam Korea Utara dan sisanya di China atau Rusia, dengan sekitar 30 persen menghilang sejak pemimpin Kim Jong Un mengambil alih kekuasaan pada akhir 2011.
Hampir 40 persen dari mereka hilang setelah tertangkap mencoba melarikan diri dari negara itu, sementara 26 persen bertanggung jawab atas kejahatan anggota keluarga lainnya. Hampir 9 persen dituduh berhubungan dengan orang-orang di Korea Selatan atau negara lain.
Lebih dari 81 persen menghilang setelah dipindahkan dan ditahan oleh Kementerian Keamanan Negara (MSS), polisi rahasia Korea Utara yang dikenal sebagai "bowibu", menurut laporan tersebut.
BACA JUGA:
Seorang narasumber yang membelot ke Selatan pada tahun 2018 dari kota perbatasan China, Hyesan, mengatakan temannya ditangkap oleh MSS ketika mencoba memulihkan ponsel China yang disembunyikan di pegunungan, dan sekarang dikabarkan telah meninggal.
"Begitu (MSS) menemukan catatan panggilan dengan Korea Selatan, itu dianggap sebagai pelanggaran serius," kata orang yang diwawancarai seperti dikutip dalam laporan tersebut.
Kang Jeong-hyun, direktur proyek tersebut, mengatakan laporan tersebut dimaksudkan untuk menggarisbawahi penghilangan paksa yang dilakukan oleh rezim Kim sebagai kejahatan transnasional yang juga melibatkan China dan Rusia.