JAKARTA – Dukungan atas putusan peninjauan kembali (PK) terpidana korupsi izin usaha pertambangan (IUP) Mardani H Maming di Mahkamah Agung (MA) kembali muncul. Setelah UII, Unpad, dan UGM, kini desakan pembebasan datang dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).
Hal itu direalisasikan dalam kunjungan rombongan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa (LKBH-PPS) FH UI berkunjung ke MA kemarin. FH UI menyerahkan dokumen berisi analisis hukum atas upaya peninjauan Kembali putusan MA atas nama Mardani Maming.
Perwakilan LKBH-PPS, Aristo Pangaribuan SH, LLM, PhD mengatakan, putusan hukum terhadap Mardani atas tuduhan suap tidak memenuhi standar pembuktian yang memadai.
“Setelah menganalisis sejumlah dokumen dan putusan terkait kasus ini, kami berpendapat bahwa putusan-putusan terhadap terpidana di dalam forum-forum sebelumnya sangat layak untuk dibatalkan, karena lemahnya standar pembuktian dalam menghukum Terpidana. Padahal, di dalam KUHAP hakim pengadilan pidana harus bersifat aktif dalam menggali kebenaran,” kata Aristo dalam keterangan disitat Rabu 30 Oktober
Tim yang diisi beberapa akademisi muda UI ini menilai putusan terhadap Mardani tidak memenuhi standar pembuktian yang memadai sesuai dengan Pasal 12 huruf b jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kami berpendapat bahwa dasar argumentasi dalam menghukum Mardani H. Maming tidak memenuhi syarat pembuktian, terutama dengan meningkatnya hukuman badan dari 10 tahun di tingkat pengadilan pertama menjadi 12 tahun di tingkat banding, serta adanya perubahan mengenai uang pengganti di tingkat kasasi," katanya.
BACA JUGA:
Menurut Aristo, dokumen yang diserahkan ini menunjukkan adanya "kekeliruan yang nyata" dan "kekhilafan hakim" yang dapat menjadi dasar bagi MA untuk mempertimbangkan peninjauan kembali.
Aristo menuturkan, pihak LKBH PPS UI mengungkapkan dua argumen utama dalam dokumen tersebut. Pertama, terdapat kelemahan dalam unsur “menerima hadiah” yang didasarkan pada keterangan saksi hearsay, atau kesaksian tidak langsung, yang menurut mereka telah dilarang oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2011.
“Saksi utama yakni Henry Soetio telah meninggal. Saksi-saksi seperti Junaidi, Suroso, dan Christian hanya menyampaikan keterangan yang mereka dengar dari pihak lain, bukan pengalaman atau pengamatan langsung. Selain itu, saksi-saksi dari Pemerintah Kabupaten pun hanya menyampaikan kesaksian yang sifatnya situasional dan tidak terkait langsung dengan inti perkara,” tambah Aristo.
Kelemahan kedua pada kasus ini, lanjut dia, ialah tidak ditemukan bukti adanya “meeting of minds” atau kesamaan kehendak antara Mardani sebagai penerima suap dan pihak pemberi suap.
“Adanya putusan pengadilan niaga terhadap PT Prolindo juga menjadi indikasi bahwa transaksi antara perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Mardani adalah transaksi bisnis yang sah,” ujar Aristo.
Terakhir, dalam paparannya LKBH PPS UI menegaskan pentingnya peran aktif hakim dalam menggali kebenaran dalam persidangan pidana. Oleh karena itu, kata dia, pihaknya berharap dokumen analisis ini dapat menjadi referensi bagi MA dalam melakukan evaluasi terhadap kasus ini.
"Kami berharap agar upaya peninjauan kembali ini dapat diterima dan menghasilkan putusan yang mempertimbangkan kelemahan-kelemahan pembuktian yang kami identifikasi. Dokumen ini kami susun sebagai bentuk kontribusi bagi Mahkamah Agung agar dapat mengkaji ulang keputusan tersebut dengan lebih seksama,” ujar Aristo.