JAKARTA - Kontestasi pilkada Jakarta November mendatang mulai memanas. Belakangan muncul narasi yang menyinggung unsur agama. Di sejumlah grup WhatsApp beredar poster foto pasangan Pramono-Rano dengan tulisan “Rebut Kembali Jakarta! Setelah 5 Tahun Sebelumnya Dipimpin Anies dan Kelompok intoleran”. Beredar pula poster “Ahok Siap di Belakang Pramono-Rano. Ahok: Saya Bertanggung Jawab untuk Kemenangan Mas Pram dan Bang Rano”.
Merespons beredarnya narasi tersebut, politikus PDIP yang juga Juru Bicara Tim Pemenangan Pramono-Rano, Chico Hakim menyebut, ada upaya yang sengaja mengadu domba dari pihak yang tidak suka Pramono-Rano menang.
“Mereka lagi pusing melihat Ahokers dan Anak Abah lebih condong mendukung Pramono-Rano. Bahkan simpul-simpul pendukung kedua mantan gubernur itu aktif bergerak dengan masif untuk memenangkan Pramono-Rano,” kata Chico saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 16 Oktober.
BACA JUGA:
Di mata peneliti senior Trust Indonesia Research and Consulting, Ahmad Fadhli narasi seperti itu wajar muncul dan akan merujuk pada kontestasi Pilkada 2017 silam. Faktanya, kata Fadhli, perselisihan atau konflik yang terjadi antara PDIP yang mengusung Pramono-Rano dengan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama dan Presidium Alumni (PA) 212 memang tak bisa dipungkiri benar adanya.
"Pertama, konflik antara PDIP dengan GNPF atau PA 212 itu bukanlah dongeng belaka. Peristiwa itu pernah terjadi manakala PDIP ikut menjadi bagian dari koalisi politik yang menyorongkan Ahok-Djarot, yang merupakan kader tulen PDIP pada Pilgub Jakarta 2017,” ujar Fadhli di Jakarta, Rabu, 16 Oktober.
Peristiwa ini, kata dia, cukup berbekas. Misalnya saja kampanye Ahok-Djarot yang ditolak di berbagai tempat di Jakarta, atau bahkan kader PDIP sempat bentrok saat mengawal kampanye Ahok-Djarot.
"Karena itulah, persinggungan keras itu akan berbekas dan tidak mudah dipulihkan. Kader PDIP di Jakarta tidak akan mudah memaafkan dan melupakan konflik Pilkada DKI 2017 yang melibatkan kelompok PA 212," ujarnya.
Begitu juga sebaliknya. Fadhli menyebut PA 212 dan FPI tentu tidak akan serta merta menerima calon gubernur yang disorongkan PDIP. "Bagi mereka, PDIP adalah seteru ideologis yang mungkin sulit untuk dipersatukan dalam sikap politik para ulama PA212," ungkap Fadhli.
"Lalu, apakah sikap ini akan dipertahankan PA212 dan FPI dalam menghadapi Pilkada DKI 2024? Jawabannya kemungkinan besar adalah iya," sambungnya.
Salah satu indikator yang nyata adalah komunikasi yang minim antara FPI/PA 212 dengan elite PDIP Jakarta. Hingga kini, belum ada komunikasi formal yang terjalin antara elite PDIP Jakarta dengan kalangan ulama tersebut.
"Padahal pemilu kurang lebih tinggal 42 hari lagi. Belum ada tindakan apapun untuk menggaet segmentasi kelompok FPI/PA 212 yang notabene sebagian merupakan pendukung Anies Baswedan," jelas Fadhli pula.