JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyebut mekanisme pengambilan keputusan suara yang mayoritas menggunakan keputusan fraksi akan menyulitkan anggota DPR dari kalangan selebritis untuk bersikap kritis.
“Sistem kita tidak mengenal one person one vote, yang ada adalah one fraksi one vote. Jadi bisa diduga yang namanya deliberative democracy atau musyawarah, tapi tidak ada deliberasinya. Selama sistem kepartaian kita belum berubah, fenomena ini akan terus menerus terjadi,” ujarnya, Minggu 6 Oktober 2024.
Dia menilai, para selebritis ini sebenarnya tengah dimanfaatkan oleh partai politik (parpol). Sebab, parpol hanya mementingkan berapa kursi yang didapat di parlemen. Selain itu, di level parpol di dalam DPR yang terjadi sesungguhnya adalah kartel politik, dan kartel politik bernegosiasi dengan oligarki. “Jadi bukan soal selebriti atau bukan,” imbuhnya.
BACA JUGA:
Karena itu, Bivitri enggan menyalahkan banyaknya kalangan artis yang kini duduk di parlemen. Sebab, fenomena tersebut adalah kesalahan dari parpol, bukan profesi seseorang dan beberapa artis yang menjadi anggota DPR, kadang justru memiliki kapasitas.
“Pertama yang perlu kita soroti itu sebenarnya kan bukan profesi orang itu apa, saya kira kita fokusnya pada apakah satu, ada kompetensi dan rekam jejak yang cukup dari semua politisi yang ada di DPR maupun pemerintahan untuk menduduki jabatan-jabatan itu,” terangnya.
Kedua, lanjut Bivitri, banyaknya selebriti atau pesohor yang dimanfaatkan parpol menggambarkan bagaimana politik di Indonesia, bahwa gagasan dan etika tidak terlalu dianggap penting, karena hal terpenting adalah popularitas.
“Yang terpenting adalah bagaimana mendulang suara sebanyak-banyaknya, enggak ada soal apakah punya kompetensi atau tidak, punya rekam jejak yang baik atau tidak. Jadi yang ingin saya salahkan bukan selebritinya, tapi parpolnya. Bagaimana mereka berperilaku sehingga menghasilkan pejabat-pejabat yang demikian,” kata dia.