Bagikan:

MATARAM - Terpidana korupsi tambang pasir besi Blok Dedalpak yang berperan sebagai Direktur PT Anugrah Mitra Graha (AMG) Po Suwandi akan menggugat Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB) terkait pelaksanaan eksekusi penahanan.

"Kami akan lakukan upaya gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) terkait dengan pelaksanaan eksekusinya. Lagi kami persiapkan. Kalau tidak ada halangan, pada hari Senin, 23 September kami ajukan," kata Lalu Kukuh Kharisma, penasihat hukum Po Suwandi melalui sambungan telepon dari Mataram, Antara, Jumat, 20 September. 

Menurut dia, pelaksanaan eksekusi penahanan Po Suwandi pada hari Kamis, 19 September oleh jaksa eksekutor pada Bidang Pidana Khusus Kejati NTB tersebut telah melanggar KUHAP, mengingat pemberitahuan putusan kasasi dari Mahkamah Agung baru sebatas petikan.

"Jadi, eksekusi mereka (jaksa) itu melanggar KUHAP. Seharusnya menunggu salinan lengkap baru dieksekusi," ujarnya.

Kukuh menegaskan bahwa pihaknya belum menerima salinan lengkap dari putusan kasasi Po Suwandi. Petikan putusan, baru diterima dari Pengadilan Negeri Mataram pada hari Rabu (18/9).

"Jadi, sejauh ini baru petikan itu yang kami terima, salinan lengkap belum ada," ucap dia.

Perihal kegiatan eksekusi penahanan Po Suwandi ke Lapas Kelas II A Lombok Barat, Kukuh mengatakan bahwa pihaknya menyarankan agar kliennya tidak menandatangani surat persetujuan eksekusi tersebut.

"Kemarin 'kan sebenarnya tidak mau ditandatangani karena tahanan kota, salinan putusan belum ada, pertimbangan hakim (putusan kasasi) 'kan belum jelas seperti apa, ya apa boleh buat. Namanya jaksa melakukan tindakan hukum, kewenangan ada pada mereka," ujarnya.

Wakil Kepala Kejati NTB Dedie Tri Hariyadi pada kegiatan eksekusi penahanan Po Suwandi, Kamis, menegaskan bahwa petikan putusan kasasi dari Mahkamah Agung sudah cukup menjadi dasar pelaksanaan eksekusi penahanan.

Menurut dia, putusan kasasi Mahkamah Agung dengan Nomor: 4960 K/Pid.Sus/2024 tertanggal 28 Agustus 2024 itu telah berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan, Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi penuntut umum dan terdakwa Po Suwandi.

"Karena dalam putusan kasasinya ditolak, tentu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi NTB, status tahan kota sudah dihapus dan kembali pada putusan yang menjatuhkan pidana selama 13 tahun, itu yang menjadi pertimbangan eksekusi," ujarnya.

Perihal terpidana menolak menandatangani surat eksekusi penahanan, Dedie memastikan pihaknya menguraikan hal tersebut dalam berita acara.

"Ya, kami buat berita acara kalau yang bersangkutan tidak mau tanda tangan (surat eksekusi). Yang penting kami sudah dapat petikan putusan. Itu resmi kok," ucap dia.

Putusan kasasi yang kemudian merujuk pada putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi NTB Nomor: 2/PID.TPK/2024/PT MTR, menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram milik terdakwa Po Suwandi tertanggal 5 Januari 2024 dengan perkara nomor: 17/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mtr.

Karena menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama, majelis hakim tingkat banding turut menetapkan terdakwa Po Suwandi tetap berstatus tahanan kota.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram dalam amar putusan terdakwa Po Suwandi sebelumnya menjatuhkan pidana penjara selama 13 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan pengganti.