Bagikan:

MATARAM - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat melakukan eksekusi penahanan Po Suwandi yang kini berstatus terpidana korupsi tambang pasir besi Blok Dedalpak, Kabupaten Lombok Timur, atas putusan kasasi Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.

Wakil Kepala Kejati NTB Dedie Tri Hariyadi membenarkan adanya kegiatan eksekusi penahanan Po Suwandi pada hari ini oleh jaksa eksekutor dari Bidang Pidana Khusus Kejati NTB.

"Iya, dieksekusi ke Lapas Kelas II A Lombok Barat," kata Dedie di Mataram, Antara, Kamis, 19 September. 

Kejaksaan melakukan eksekusi penahanan usai menerima petikan putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 4960 K/Pid.Sus/2024 tertanggal 28 Agustus 2024. Dalam petikan putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan hakim menolak permohonan kasasi penuntut umum dan terdakwa Po Suwandi.

"Karena dalam putusan kasasinya ditolak, tentu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi NTB, status tahan kota sudah dihapus dan kembali pada putusan yang menjatuhkan pidana 13 tahun, itu yang menjadi pertimbangan eksekusi," ujarnya.

Apabila terpidana menolak menandatangani surat eksekusi penahanan, Dedie memastikan akan menguraikan hal tersebut dalam berita acara. "Ya, kami buat berita acara kalau yang bersangkutan tidak mau tanda tangan (surat eksekusi). Yang penting kami sudah dapat petikan putusan. Itu resmi kok," ucap dia.

Sementara, Lalu Kukuh Kharisma sebagai penasihat hukum Po Suwandi mengaku kaget dengan langkah kejaksaan yang lebih dahulu melakukan eksekusi penahanan sebelum menerima salinan putusan kasasi lengkap dari Mahkamah Agung.

"Baru saya terima kabar juga, pas Pak Po Suwandi wajib lapor, dieksekusi. Kami enggak paham dengan jaksa, kenapa kesannya terburu-buru," kata Kukuh.

Karena belum menerima salinan putusan kasasi lengkap dari Mahkamah Agung, Kukuh meminta kepada kliennya untuk tidak menandatangani surat eksekusi penahanan.

"Kalau kami suruh jangan tanda tangan, jadi mau eksekusi pakai apa? Pertimbangan hakim 'kan enggak ada (dalam petikan putusan). Makanya, diatur di KUHAP, eksekusi dilakukan setelah ada salinan putusan lengkap," ujarnya.

Oleh karena itu, dengan tidak menandatangani surat eksekusi penahanan, Kukuh menilai status tahanan kliennya di Lapas Kelas II A Lombok Barat masih berstatus tahanan titipan.

"Jadi, itu bukan ditahan, itu dititipkan sampai menunggu salinan putusan lengkap diterima. Pak Po Suwandi dalam kondisi sakit seharusnya ada diskresi dari mereka (jaksa)," ucap dia.

Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo mengaku baru menyerahkan petikan putusan kasasi Po Suwandi kepada pihak kejaksaan maupun terdakwa.

"Salinan putusan lengkap belum, baru petikan. Rabu (18/9) kemarin kami sampaikan kepada para pihak," ujar Kelik.

Dalam amar putusan Mahkamah Agung dengan perkara Nomor: 4960 K/Pid.Sus/2024 tertanggal 28 Agustus 2024, hakim menolak permohonan kasasi penuntut umum dan terdakwa Po Suwandi. Sehingga eksekusi putusan merujuk pada putusan Pengadilan Tinggi NTB.

Majelis hakim tingkat banding dalam amar putusan nomor: 2/PID.TPK/2024/PT MTR menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram milik terdakwa Po Suwandi tertanggal 5 Januari 2024 dengan perkara nomor: 17/Pid.Sus-TPK/2023/PN Mtr.

Karena menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama, majelis hakim tingkat banding turut menetapkan terdakwa Po Suwandi tetap berstatus tahanan kota.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram dalam amar putusan terdakwa Po Suwandi sebelumnya menjatuhkan pidana penjara selama 13 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan pengganti.

Pada putusan pengadilan tingkat pertama dengan ketua majelis hakim Isrin Surya Kurniasih tersebut turut membebankan terdakwa membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp17,7 miliar subsider 6 tahun kurungan pengganti.

Hakim menetapkan besaran uang pengganti untuk terdakwa Po Suwandi merujuk hasil audit kerugian keuangan negara dari BPKP NTB senilai Rp36,4 miliar.

Hakim turut menetapkan agar jaksa penuntut umum merampas dan menyetorkan uang titipan terdakwa senilai Rp800 juta ke kas negara dan memperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara.

Hakim menyampaikan putusan demikian dengan menyatakan perbuatan terdakwa sebagai Direktur PT AMG melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sesuai dakwaan alternatif pertama primer penuntut umum.

Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, hakim menyatakan bahwa terdakwa adalah orang pertama yang harus bertanggung jawab terkait kegiatan PT AMG melakukan penambangan pasir besi pada Blok Dedalpak pada tahun 2021 dan 2022 tanpa mengantongi persetujuan rencana kegiatan dan anggaran biaya (RKAB) dari Kementerian ESDM.