Bagikan:

JAKARTA – Pengamat politik Yunarto Wijaya menilai koalisi yang terbangun di level nasional atau pilpres seperti Koalisi Indonesia Maju (KIM) tidak bisa diduplikasi atau dipaksakan dalam pelaksanaan Pilkada 2024.

“Problem dari awal ini adalah koalisi yang terbangun di level nasional didasarkan pilpres coba dipaksakan atau diduplikasi menjadi koalisi yang ada di level daerah. Itu secara tata negara sudah nggak nyambung udah salah. Kenapa, sebab yang namanya pilkada masing-masing parpol itu punya kedaulatannya sendiri,” ujarnya, Minggu 25 Agustus 2024.

Menurut dia, kesolidan KIM atau KIM Plus bisa diterapkan pada mengawal program prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran, termasuk bagaimana kerjasama di parlemen. Sementara di level pilkada, logika kesolidan ala KIM Plus justru akan banyak merugikan parpol-parpol anggota KIM Plus.

Terlebih, setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menyenangkan semua parpol dalam menghadapi Pilkada 2024. Sebab, ketika masing-masing parpol bisa mengajukan dan mengusung calon kepala daerah sendiri dengan independen dan berdaulat, maka mereka bisa memiliki kesempatan membangun infrastruktur demi kepentingan pemilu 2029.

“Karena itu, Putusan MK ini berpotensi mengacaukan soliditas KIM Plus, setidaknya di Pilkada 2024. Bahkan, tidak menutup kemungkinan dalam jangka panjang jika di friksi internal KIM terus berlangsung hingga pemerintahan baru ke depan,” tambah Toto.

Meski demikian, dia tidak menepis jika soliditas KIM Plus tetap terjaga. Apalagi bila sudah ada kesepakatan politik sebelum keluarnya Putusan MK No 60 dan 70 Tahun 2024.

“Saya tidak tahu apakah ada sebuah kompensasi politik bernama menteri, apakah ada hitung-hitungan yang tidak ikut dalam barisan koalisi KIM Plus akan dikurangi jatah menterinya, itu spekulasi ya,” tutup Toto.