Bagikan:

JAKARTA - Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang baru saja dirilis oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa prevalensi perokok dewasa di Indonesia masih tetap tinggi, terlebih jika dibandingkan dengan negara lain.

Meski pemerintah telah menggulirkan sejumlah kebijakan untuk mengurangi jumlah perokok, prevalensi merokok tetap di masyarakat tetap tinggi. Adakah pendekatan yang diambil kurang efektif?

Sebagai contoh, kebijakan cukai yang menarget konsumen rokok. Betapa tidak, dalam beberapa tahun terakhir, penerimaan cukai tembakau di Indonesia terus meningkat secara signifikan. Sayangnya, peningkatan penerimaan ini tidak dibarengi dengan penurunan angka perokok yang signifikan.

Terkait hal ini, Center for Market Education (CME) dalam laporannya "Sebuah Agenda Inovasi Untuk Pemerintah Indonesia" mengemukakan bahwa meski penerimaan cukai tembakau meningkat rata-rata 5,4 persen per tahun selama delapan tahun terakhir, volume penjualan rokok hanya turun sebesar 1,1 persen dalam periode yang sama.

Ini menunjukkan bahwa mekanisme perpajakan yang mengenakan tarif lebih rendah pada produk tembakau yang lebih murah, tidak efektif mendorong perokok untuk berhenti. Karenanya, menurut ekonom dari CME Dr. Carmelo Ferlito, sudah waktunya pemerintah untuk mempertimbangkan perspektif tobacco harm reduction sebagai bagian dari pengambilan kebijakan.

"Indonesia dapat mencontoh negara-negara yang berhasil menurunkan prevalensi merokoknya, semisal Inggris, Swedia, bahkan Filipina yang mengenakan kebijakan berbasis risiko dimana produk-produk alternatif seperti rokok elektrik dan vape dikenakan pajak yang berbeda dengan rokok konvensional, sesuai dengan risiko yang ditimbulkan," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Selasa 20 Agustus.

Menurutnya, insentif finansial merupakan motivator penting bagi perokok untuk beralih ke alternatif yang lebih rendah risiko. Indonesia pun dapat memanfaatkan peluang inovasi yang masih terbuka lebar di sektor ini.

Riset dari ekonom CME Dr. Carmelo Ferlito.