JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dugaan korupsi di Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang yang ditangani tak berkaitan dengan kerugian negara. Perbuatan para tersangka yang belum diumumkan itu adalah penerimaan suap dan gratifikasi serta pemerasan.
“Di perkara Wali Kota Semarang tidak ada penghitungan kerugian negaranya,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan yang dikutip Jumat, 16 Agustus.
Sangkaan pertama, soal suap disebut berarti telah melanggar Pasal 12 a dan 12 b UU Tipikor, sambung Asep. “Kemudian yang kedua adalah terkait dengan gratifikasi juga tidak perhitungan kerugian negara dan yang ketiga adalah pemotongan,” tegasnya.
Untuk dugaan pemotongan ini, sambung Asep, membuat pegawai Pemkot Semarang tidak mendapatkan hak mereka secara utuh. “Jadi dipotong,” ungkapnya.
Diberitakan sebelumnya, KPK memulai penyidikan tiga dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Rinciannya pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Semarang pada 2023–2024, dugaan pemerasan terhadap pegawai negeri terkait insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah Kota Semarang, serta dugaan penerimaan gratifikasi pada pada 2023-2024.
Penggeledahan sudah dilakukan di berbagai lokasi seperti di Kota Semarang, Kudus, Salatiga, dan lainnya. Dari sana ditemukan dokumen hingga duit Rp1 miliar dan 9.650 euro serta puluhan unit jam tangan yang diduga terkait dengan perkara tersebut.
BACA JUGA:
Dalam kasus ini, Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Mbak Ita dan tiga orang lainnya sudah dicegah ke luar negeri selama enam bulan.
Mereka adalah suaminya yang juga Ketua Komisi D DPRD Jateng, Alwin Basri; Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Kota Semarang, Martono; dan Rahmat Djangkar yang merupakan pihak swasta.