JAKARTA - Perundingan guna mengakhiri perang saudara di Sudan yang sudah berlangsung selama 16 bulan dimulai di Swiss pada Hari Rabu, meskipun ketidakhadiran militer telah meredam harapan akan langkah-langkah segera untuk meringankan krisis kemanusiaan di negara itu.
Paramiliter Rapid Support Forces (RSF), yang telah merebut sebagian besar wilayah negara itu, mengirim delegasi ke perundingan tersebut tetapi mediasi langsung tidak mungkin dilakukan tanpa kehadiran militer, kata Utusan Khusus Amerika Serikat Tom Perriello yang mendorong perundingan tersebut pekan ini.
Sebaliknya, para peserta termasuk Mesir, Uni Emirat Arab, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Afrika, badan Afrika Timur IGAD dan para ahli akan berkonsultasi tentang peta jalan untuk penghentian kekerasan dan melaksanakan pengiriman bantuan kemanusiaan.
"Operasi militer tidak akan berhenti tanpa penarikan mundur semua milisi dari kota-kota dan desa-desa yang telah mereka rampas dan jajah," kata kepala angkatan bersenjata Sudan Abdel Fattah al-Burhan pada Selasa malam, melansir Reuters 15 Agustus.
Tentara mengatakan ketidakhadiran mereka dalam perundingan tersebut muncul karena kegagalan untuk melaksanakan komitmen yang ditengahi AS dan arab Saudi sebelumnya untuk menarik para pejuang keluar dari wilayah sipil dan memfasilitasi pengiriman bantuan. Para mediator mengatakan, kedua belah pihak mengabaikan kesepakatan tersebut.
"Kami fokus untuk memastikan para pihak mematuhi komitmen Jeddah dan (pelaksanaannya)," kata Perriello di X Hari Rabu.
Pimpinan RSF telah membantah banyak laporan tentang para pejuang yang menyerang warga sipil dan menjarah, mengatakan mereka terbuka untuk kesepakatan damai jika tentara terlibat dalam perundingan.
RSF telah melanjutkan operasi di beberapa wilayah Sudan, membombardir Kota Omdurman, Al-Obeid dan Al-Fashir, serta terus maju ke tenggara, menggusur ratusan ribu warga sipil.
Perundingan saat ini akan fokus pada pengembangan mekanisme penegakan hukum untuk setiap kesepakatan.
Pengiriman bantuan ke wilayah yang dikuasai RSF telah sangat tertunda oleh pemerintah yang berpihak pada tentara di Port Sudan, serta akibat perampokan dan penjarahan, yang sering kali dilakukan oleh pejuang RSF, kata para saksi.
BACA JUGA:
Diketahui, perang meletus pada April 2023 di tengah perselisihan tentang cara mengintegrasikan tentara dan RSF sebagai bagian dari transisi dari pemerintahan militer ke pemilihan umum yang bebas.
Sebelumnya, pejabat PBB telah memperingatkan Sudan berada di "titik kritis" dan akan ada puluhan ribu kematian yang dapat dicegah akibat kelaparan, penyakit, banjir dan kekerasan dalam beberapa bulan mendatang tanpa tanggapan global yang lebih besar.
Krisis kemanusiaan terburuk di dunia telah terjadi dengan setengah dari 50 juta penduduk kekurangan makanan dan kelaparan melanda sebagian wilayah Darfur Utara.