Bagikan:

JAKARTA - Kemarin, sejumlah sopir Mikrotrans yang tergabung dalam Forum Komunikasi Laskar Biru (FKLB) melakukan aksi unjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta. Menurut Mereka, PT Transjakarta melakukan diskriminasi dengan menganakemaskan salah satu operator angkutan yang bergabung dengan sistem JakLingko.

Salah satu perwakilan FKLB, Rahmadoni mengungkap satu operator yang dianggap mendapat kuota pengadaan Mikrotrans lebih banyak adalah Koperasi Wahana Kalpika (KWK). Pemiliknya adalah Wakil Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Taufik Azhar.

Sebagai catatan, Komisi B DPRD DKI membidangi pengawasan pelaksanaan anggaran pada badan usaha milik daerah (BUMD) DKI Jakarta, termasuk Transjakarta.

"Kebetulan yang bersangkutan wakil ketua komisi B DPRD DKI Jakarta sekaligus Ketua KWK. Jadi, itu sangat jelas konflik kepentingannya," kata Rahmadoni dalam pesan singkat, Rabu, 31 Juli.

Kini, tuntutan para sopir dari sejumlah operator mitra dalam JakLingko telah diterima oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Transjakarta. Jika tuntutan tak dipenuhi, mereka membuka peluang untuk melaporkan dugaan kongkalikong pengadaan Mikrotrans ke KPK.

"Bisa aja kami lakukan (lapor KPK) kalau tidak ada penyelesaian yang baik dari pemprov DKI, DISHUB DKI, dan Transjakarta. Tapi, sejauh ini kita belum ada rencana. Silakan saja aparat penegak hukum dan masyarakat yang menilai sendiri sebagai bentuk kontribusi pengawasan dana PSO (subsidi dari APBD)," jelas dia.

Selasa, 30 Juli, ratusan sopir Mikrotrans menggelar aksi unjuk rasa di Balai Kota DKI Jakarta. Mereka juga membawa armada-armada yang diparkir di sepanjang Jalan Medan Merdeka Selatan. Kemacetan pun tak terhindarkan.

Para sopir Mikrotrans berdemo dengan sejumlah tuntutan. Salah satunya mengeluhkan pembagian kuota pengadaan Mikrotrans sebagai pengganti armada reguler seperti Metromini dan angkot untuk para operator yang sudah bermitra.

Mereka menilai adanya diskriminasi dari Transjakarta dalam kebijakan JakLingko. Dari 11 operator mitra, terdapat 1 operator yang seolah dianakemaskan oleh Transjakarta karena mendapat kuota penyerapan armada paling banyak untuk dioperasikan dibanding yang lainnya.

Kemudian, sopir Mikrotrans ini juga merasa pembayaran rupiah per kilometer armada yang ditentukan Transjakarta tidak sepadan. Sehingga, mereka tak mendapatkan gaji setara UMP.