Kebiasaan <i>Ngumpul</i> Bikin Sulit Penerapan <i>Social Distancing</i>
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Aparat kepolisian masih kerap menemukan anak-anak maupun warga yang berkumpul di luar, untuk sekadar nongkrong di tengah pandemi virus COVID-19. Padahal, imbauan untuk social distancing (pembatasan sosial) berkali-kali diserukan. Kapolri Jenderal Idham Aziz mengeluarkan maklumat untuk menerapkan social distancing ini.

Gubernur DKI Jakarta meminta bantuan dari aparat kepolisian untuk menegakan kebijakan ini. Mereka yang masih nongkrong akan dibubarkan polisi yang berpatroli.  

"Mereka akan dibubarkan, dan mereka yang memaksa nanti dimintai keterangan (oleh kepolisian). Akan ada potensi sanksi, karena ini risikonya terlalu besar," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Selasa, 24 Maret. 

Fenomena sosial orang Indonesia memang senang berkumpul sejak dulu. Berbeda dengan tradisi masyarakat barat yang individualis. Kata Sosiolog dari UGM, Suprapto, prinsip hidup orang Indonesia, makan tidak makan, yang penting kumpul. 

"Meskipun hal itu berlaku bagi keluarga, tapi kebiasaan kumpul menjadi berlaku juga bagi kelompok sepermainan (peer group), komunitas, dan lain-lain," jelas Suprapto saat dihubungi VOI, Senin, 23 Maret. 

Suprapto mengatakan, pada hakikatnya manusia mempunyai kecenderungan berinteraksi dengan sesamanya. Sehingga, tidak mudah mengubahnya menjadi berdiam diri di rumah tanpa interaksi langsung. 

Di luar itu, keadaan ekonomi sebagian masyarakat Indonesia berada di level menengah ke bawah. Masih banyak masyarakat yang berkerja dengan bayaran harian, sehingga tidak memiliki cukup tabungan untuk makan sehari-hari jika harus di rumah saja. 

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida memaklumi jika aparat kepolisian belum memberikan sanksi tegas, baik secara administratif maupun pidana kepada masyarakat yang masih suka berkerumun. Sebab, sampai saat ini pemerintah belum menetapkan status lockdown (karantina wilayah). 

"Jika masyarakat dilarang keluar rumah, maka banyak hal yang harus dipertimbangkan. Jika lockdown, infrastruktur dan saluran kebutuhan warga per wilayah juga harus memadai," ungkap Ida. 

Tapi, kata Ida, bukan berarti masyarakat masih merasa bisa berkumpul hingga menunggu status lockdown ditetapkan. Jangan menganggap enteng virus yang berasal dari kota Wuhan, China, tersebut.

"Ada masyarakat yang beranggapan jika sakit, mereka tinggal berobat pakai BPJS. Padahal, BPJS pun belum mengondisikan orang untuk hidup sehat," kata dia. (Paragraf ini direvisi setelah ada protes dari narasumber Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida. Redaksi meminta maaf atas kesalahan pengutipan)

Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Belum lagi, pasien positif virus corona makin hari semakin bertambah. Saat ini, berbagai rumah sakit rujukan maupun swasta kesulitan menangani pasien karena minimnya ketersediaan alat pelindung diri (APD). 

"Oleh karenanya, pembiasaan hidup disiplin, bersih dan sehat harus dilakukan. Kontrol oleh keluarga dan masyarakat sekitar juga harus dilakukan. Kebijakan belajar dari rumah, bekerja dari rumah, ibadah di rumah, pada dasarnya memberikan tanggung jawab keluarga dan komunitas untuk pengawasan," tutupnya.