JAKARTA - Deputi IV Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Informasi dan Komunikasi Politik, Juri Ardiantoro mengaku sulit membuat protokol pencegahan penularan COVID-19 khusus di pasar tradisional.
Padahal, pasar adalah lokasi yang tidak ditutup saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah. Sebab, pasar tradisional menjadi tempat pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat, seperti bahan pangan dan rumah tangga.
Akibatnya, penularan COVID-19 yang berasal dari interaksi jarak dekat antara pedagang dan pembeli di pasar tradisional tidak bisa dihindari.
"Kami tahu sendiri, pasar ini kan tidak atau belum diatur secara baik untuk menghindari penularan virus. Social distancing di pasar ini memang sulit dikendalikan," kata Juri dalam diskusi virtual, Sabtu, 13 Juni.
Memang, kata dia, sejumlah daerah seperti Salatiga, Jawa Tengah telah menerapkan jaga jarak fisik (physical distancing) lapak pedagang tiap 1 hingga 2 meter di pasar tradisional.
Namun, protokol ini tidak bisa diterapkan di kota besar seperti DKI Jakarta, karena keterbatasan lahan untuk mengalokasikan sebagian pedagang.
"Ada beberapa pasar yang pemerintah daerah dan pengelola pasarnya melakukan penyesuaian untuk physicial distancing. Tapi, di beberapa daerah belum bisa. Nah, di sinilah penularan dilakukan," ungkap Juri.
Oleh sebab itu, solusi yang saat ini digalakkan untuk mencegah penularan virus semakin merebak di pasar adalah dengan pemeriksaan secara masif, baik menggunakan Polymerase chain reaction (PCR) maupun rapid test.
Sebagai infromasi, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) mengamini tingginya angka penularan COVID-19 di pasar tradisional. Sampai hari ini, sedikitnya tercatat ada 529 pedagang pasar yang terinfeksi virus corona.
Kemudian, dari ratusan pedagang yang positif COVID-19 29 di antaranya meninggal dunia. Tercatat, jumlah pedagang di seluruh Indonesia sebanyak 12,3 juta orang dari 13.450 pasar.