Bagikan:

JAKARTA - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak gagasan untuk memulai gencatan senjata di Gaza sementara Hamas masih berkuasa.

Hal ini disampaikan terkait laporan The New York Times yang mengutip enam pejabat keamanan saat ini dan mantan pejabat yang mengatakan gencatan senjata akan memberikan waktu bagi pasukan Israel untuk bersiap menghadapi potensi gencatan senjata dengan Hizbullah.

Para pejabat, yang sebagian besar berbicara secara anonim juga mengatakan gencatan senjata akan menjadi cara paling efektif untuk menjamin pembebasan sandera Israel.

Mantan Penasihat Keamanan Nasional Israel Eyal Hulata, yang menurut Times menjaga komunikasi rutin dengan pejabat senior militer.

“Militer mendukung penuh kesepakatan penyanderaan dan gencatan senjata. Mereka percaya bahwa mereka bisa selalu kembali dan terlibat dengan Hamas secara militer di masa depan,” katanya dilansir CNN, Rabu, 3 Juli.

Dihadapkan pada skenario “perang selamanya”, empat pejabat yang diwawancarai oleh Times setuju dengan Hulata soal mempertahankan kekuasaan Hamas untuk saat ini dengan imbalan mendapatkan kembali para sandera tampaknya merupakan pilihan yang paling buruk bagi Israel.

“Saya tidak tahu siapa sumber anonim ini, tapi saya di sini untuk memperjelas: Ini tidak akan terjadi. Perang akan berakhir setelah Israel mencapai semua tujuannya, termasuk penghancuran Hamas dan pembebasan semua sandera kami,” kata Netanyahu.

“Pemerintah mengarahkan IDF untuk mencapai tujuan perang ini dan IDF memiliki segala cara untuk mencapainya. Kami tidak akan menyerah pada angin kekalahan, baik di The New York Times maupun di mana pun. Kami terinspirasi oleh semangat kemenangan,” imbuhnya.

Laporan tersebut diterbitkan ketika situasi di wilayah utara Israel masih sangat tegang, dengan militer Israel dan kelompok militan Lebanon Hizbullah meningkatkan serangan lintas batas, yang berisiko berubah menjadi perang skala penuh.

“Mereka (IDF) memahami bahwa jeda di Gaza membuat deeskalasi lebih mungkin terjadi di Lebanon,” kata Hulata kepada Times.

“Dan mereka memiliki lebih sedikit amunisi, lebih sedikit suku cadang, lebih sedikit energi dibandingkan sebelumnya – jadi mereka juga berpikir jeda di Gaza memberi kita lebih banyak waktu untuk bersiap jika terjadi perang yang lebih besar dengan Hizbullah,” katanya.