Bagikan:

JAKARTA - Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyebut wabah infeksi sindrom syok toksik streptokokus (STSS) belum terdeteksi di Indonesia.

Infeksi ini disebabkan oleh oleh bakteri Streptococcus pyogenes kelompok A. Bakteri yang dijuluki "pemakan daging" ini gelah merebak di Jepang dengan kasus di atas 1.000.

“kalau sampai saat ini, di Indonesia belum ada laporan ya untuk kasus bakteri 'pemakan daging'," kata Nadia dalam keterangannya, Kamis, 27 Juni.

Nadia menuturkan, Kemenkes terus memantau situasi melalui surveilans sentinel influenza like illness (ILI) – severe acute respiratory infection (SARI) dan pemeriksaan genomik.

Kasus STSS yang dilaporkan di Jepang, umumnya kasus di rumah sakit yang disebabkan bakteri streptokokus yang biasanya muncul dengan gejala faringitis atau peradangan pada tenggorokan atau faring.

"Infeksi STSS bisa berakibat fatal karena pasien dapat mengalami sepsis dan gagal multiorgan. Namun, penyebabnya secara pasti masih belum diketahui karena gejala STSS biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat," papar Nadia.

Meski mengkhawatirkan, tingkat penyebaran STSS jauh lebih rendah dibandingkan dengan COVID-19. Nadia pun mengimbau masyarakat untuk tetap menerapkan perilaku hidup sehat, menggunakan masker saat sakit, dan membiasakan mencuci tangan secara rutin.

“Yang paling penting saat ini, kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi COVID-19 terus dijalankan seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker, sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernafasan” jelasnya.

Sebagai informasi, pada kasus bakteri pemakan daging ini,

gejala yang dirasakan oleh pengidap mulanya mengalami demam, nyeri otot, serta muntah-muntah. Bahkan kuman ini dengan cepat bisa mengancam nyawa dengan tekanan darah rendah, pembengkakan, serta kegagalan banyak organ saat tubuh alami syok.

"Bahkan dengan pengobatan pun, STSS dapat mematikan. Dari 10 orang yang mengidap STSS, sebanyak 3 orang bakal meninggal akibat infeksi tersebut," menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC).

CDC mencatat sebagian besar permasalahan STSS diakibatkan oleh bakteri streptokokus grup A (GAS), bakteri yang juga menimbulkan demam serta infeksi tenggorokan pada anak-anak. Dalam permasalahan yang jarang terjadi, bakteri ini bisa jadi invasif saat menghasilkan toksin yang memungkinkannya mengakses aliran darah. Bakteri ini pula dapat menimbulkan penyakit serius semacam syok toksik.

Sedangkan pada bulan Desember 2022, terdapat 5 negara Eropa melaporkan kepada Organisasi Kesehatan Dunia( World Health Organization) terpaut adanya kenaikan invasif group A streptococcus (iGAS), anak-anak di bawah 10 tahun yang paling terkena dampaknya. CDC berkata grupnya pula lagi menyelidiki kenaikan nyata penyakit ini pada saat itu.

Setelah itu di Maret, pihak berwenang Jepang memperingatkan terdapatnya lonjakan permasalahan STSS. Institut Penyakit Menular Nasional Jepang merilis penilaian resiko yang menyatakan jumlah kasus STSS yang diakibatkan oleh iGAS sudah bertambah semenjak Juli 2023, terutama di antara mereka yang berumur di bawah 50 tahun.

CDC berkata orang lanjut usia dengan luka terbuka berisiko lebih tinggi tertular STSS, termasuk mereka yang baru saja menempuh operasi.

"Tetapi, para pakar tidak mengetahui bagaimana kuman tersebut masuk ke dalam badan hampir setengah orang yang mengidap STSS," ujar CDC di situsnya.