Bagikan:

JAKARTA - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi menyebutkan bahwa mycoplasma, bakteri penyebab utama wabah pneumonia pada anak-anak di China, merupakan bakteri umum yang mengakibatkan infeksi pernapasan sebelum COVID-19. 

"Di China, mycoplasma memang menjadi kasus terbanyak pada kasus pneumonia. Mycoplasma itu bakteri, bukan virus, dan merupakan penyakit penyebab umum infeksi pernafasan sebelum masa COVID-19," kata Imran dilansir ANTARA, Rabu, 29 November.

Dia menjelaskan, mycoplasma adalah penyebab umum influenza dan penyakit paru, dengan kejadian 8,6 persen, dan berdasarkan informasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terjadi peningkatan kasus mycoplasma pneumonia sejak bulan Mei 2023 di China.

"WHO mendeteksi adanya sinyal pneumonia belum terdiagnosis, utamanya pada anak yang dipublikasikan di jurnal Promed pada 22 November 2023. Sebanyak 3 dari 4 pasien didiagnosis terinfeksi mycoplasma, selain ada pengaruh lainnya seperti SARS-COV dan influenza," ujar dia.

Imran menjelaskan, patogen ini memiliki periode inkubasi dan penyebaran yang cukup lama, sehingga bisa disebut sebagai pneumonia berjalan atau walking pneumonia.

"Jadi agak berbeda dengan COVID-19, kalau COVID-19 waktu inkubasinya pendek, mycoplasma ini cukup lama. Di China, paling banyak muncul pada anak-anak dan utamanya muncul pada saat perubahan ke musim panas," tuturnya.

Ia juga menjelaskan terjadi peningkatan kasus rawat jalan dan rawat inap pada anak di China yang disebabkan bakteri mycoplasma pneumoniae sejak Mei 2023, juga dari respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, dan influenza sejak Oktober 2023, dimana saat ini sudah terjadi penurunan.

"Di China, peningkatan pneumonia terjadi pada 3-5 tahun ke belakang, dan berdasarkan penelitian di sana, adenovirus dan RSV menjadi penyebab beberapa tahun terakhir," katanya.

Meski bakteri mycoplasma belum terdeteksi di Indonesia, berdasarkan data Kemenkes, terjadi peningkatan tren pneumonia secara umum di beberapa wilayah provinsi setelah pandemi COVID-19.

"Setelah pandemi selesai, masyarakat yang sakit sudah mulai datang lagi ke fasilitas kesehatan dengan gejala-gejala mirip COVID-19, seperti influenza dan segala macam. Trennya memang di semua provinsi terlihat ada peningkatan," sebut Imran.

 

Berdasarkan data rutin yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PM) Kemenkes, selama Januari hingga September 2023, secara nasional Jawa Tengah adalah provinsi yang paling tinggi mengalami kejadian infeksi saluran pernapasan (ISPA), baik di puskesmas maupun rumah sakit (lebih dari 2.5 juta kasus), kemudian disusul Jawa Barat (lebih dari 2 juta kasus), dan DKI Jakarta (lebih dari 1 juta kasus).

 "Dilihat dari kasus pneumonia, jadi beda ya ISPA dengan pneumonia, kalau pneumonia itu penyakit yang sudah masuk ke paru-parunya, di sini yg paling banyak adalah Jabar, dan secara tren, ini tampak tinggi di awal tahun, kemudian berangsur angsur menurun, sampai Oktober-November 2023 ini paling rendah jumlahnya dari bulan-bulan sebelumnya," paparnya.

"Kemudian kalo kita liat insidennya, insiden ini per 100 ribu orang, yang paling tinggi insidennya adalah DKI Jakarta, baik ISPA maupun pneumonia, dan peningkatan ini terjadi saat polusi udara tinggi sekitar bulan September-Oktober," imbuh dia.

Imran menegaskan, terkait pengawasan atau surveilans, penyakit-penyakit pneumonia dan ISPA, Kemenkes telah melakukan pemantauan lanjutan influenza like illness (ILI), yakni surveilans untuk kasus-kasus yang punya gejala seperti influenza, sebagai kelanjutan dari surveilans dari COVID-19.