Bagikan:

JAKARTA - Hukum perdata internasional dapat dikatakan sebagai perangkat di dalam sistem hukum nasional yang mengurus hubungan-hubungan atau peristiwa hukum dengan keterlibatan lebih dari satu sistem hukum nasional.

Kejelasan definisi hukum perdata internasional sendiri akan lebih terlihat jika dikaitkan dengan definisi hukum internasional. Hal ini dikarenakan kedua definisi tersebut sama-sama menggunakan istilah internasional, selain acapkali juga dipertentangkan.

Dari istilah yang digunakan, para ahli di Indonesia menyepakati penggunaan istilah hukum perdata internasional dengan sekian pertimbangan yuridis ataupun non-yuridis.

Selanjutnya, untuk memahami suatu peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup materi hukum perdata internasional, maka kita wajib mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis suatu peristiwa hukum. Apakah dapat dikategorikan sebagai peristiwa hukum perdata internasional atau tidak.

Jika proses tersebut dapat diselesaikan, maka kasus hukum perdata internasional akan dapat teratasi dengan runtut dan sistematis, karena alur permasalahan pokok dalam hukum perdata internasional telah diketahui dengan baik.

Identifikasi penggunaan Hukum Perdata Internasional

Hukum perdata internasional sendiri digunakan dengan beberapa alasan berikut.

- Hukum ini telah menjadi kebiasaan umum

- Ruang lingkup internasional menyangkut permasalahan yang bersifat lintas negara

- Hukum perselisihan tidak digunakan karena suatu peristiwa hukum tidak selalu berkonflik

- Hukum antar tata hukum tidak digunakan karena ruang lingkup berlakunya terlalu luas

Masalah Pokok HPI

Adapun persoalan paling mendasar yang kerap menjadi pertimbangan dalam hukum perdata internasional antara lain:

- Hakim atau pengadilan manakah yang memiliki kewenangan untuk mengatasi persoalan hukum yang mengandung unsur asing;

- Hukum manakah yang harus dijalankan untuk mengatur dan/atau mengatasi persoalan hukum yang mengandung unsur asing;

- Bilamana/sejauh mana suatu pengadilan harus memberi perhatian dan mengakui putusan-putusan pengadilan asing dan/atau mengakui hak-hak/kewajiban hukum yang dikeluarkan berdasarkan hukum/putusan pengadilan asing.

Berbicara mengenai hukum perdata internasional, berarti juga berbicara mengenai keseluruhan peraturan dan ketetapan penentuan hukum yang berlaku dalam persengketaan dua orang atau lebih dengan kewarganegaraan yang berbeda.

Hukum perdata internasional mempersoalkan di yurisdiksi mana sengketa harus dikaji dan diselesaikan, hukum apa yang digunakan untuk mengatasi sengketa tersebut, dan bagaimana penegakan terhadap hukum asing.

Jenis-jenis sengketa

1)  Sengketa-sengketa yang dimaksud antara lain perihal perkawinan, perceraian, hak asuh anak, kontrak dagang dengan pihak asing. Khusus di Indonesia, pengaturan terkait hukum perdata internasional masih menggunakan pasal 16, 17, dan 18 Algemene Bepalingen yang merupakan warisan dari masa kolonial. Dengan upaya kodifikasi dalam hukum nasional masih sebatas rancangan undang-undang di DPR.

2)  Sengketa perdata internasional dapat disebabkan oleh adanya:

a). sengketa kontraktual

Sengketa ini timbul antara para pihak yang terikat dalam perjanjian atau perikatan, dengan kata lain sengketa tersebut terkait dengan hubungan kontraktual;

b). sengketa non-kontraktual

Sengketa yang melibatkan antarpihak yang tidak terikat dalam suatu hubungan kontraktual atau sengketa yang tidak mengenal atau tidak terikat dengan hubungan kontraktual yang ada;

c). conflict of law

Terjadi karena adanya perbedaan yurisdiksi dan/atau sistem hukum dalam suatu sengketa perdata yang terdapat elemen asing (foreign element). Selain itu, banyak hal yang harus diperhatikan dalam sengketa perdata internasional, antara lain yurisdiksi pengadilan yang tepat (pilihan forum penyelesaian sengketa/choice of forum), hukum yang berlaku mengenai substansi sengketa (pilihan hukum/choice of law) dan enforcement (pelaksanaan putusan).

Contoh kasus hukum perdata internasional

Hukum perdata internasional dapat diterapkan dalam sebuah kasus berikut:

Seorang warga negara Australia melangsungkan pernikahan dengan perempuan berkewarganegaraan Indonesia di Australia. Pernikahan tersebut berlangsung di Australia karena orang tua si perempuan tidak merestui. Selanjutnya, dari pernikahan tersebut, pasangan ini memiliki dua orang putra, sebut saja namanya Mitch dan Harry.

Tepat pada usia pernikahan ke-20, keduanya merasa tidak memiliki kecocokan karena sang istri masih berdomisili di Indonesia. Sang suami pun mengajukan gugatan perceraian di pengadilan tinggi Jakarta, sekaligus meminta hak asuh atas kedua putranya tersebut. Namun, sebelum gugatan tersebut masuk ke pengadilan Jakarta, sang suami meninggal dunia dan meninggalkan testament bahwa harta kekayaan yang dimiliki sang suami diwariskan kepada Mitch dan Mark, anak angkat sang suami di Australia. Testament itu sendiri dibuat oleh sang suami saat perjalanan bisnisnya ke Italia.

Dalam kasus tersebut, dapat diketahui terdapat perbuatan hukum dengan adanya perkawinan dan pembuatan testament di Australia dengan pernikahan beda kewarganegaraan, dan pembuatan testament di Jerman oleh sang suami.

Berdasarkan hukum nasional di Indonesia, secara materiil perkawinan harus dilakukan sesuai dengan KUHPdt dan UU perkawinan No.1 tahun 1974. Namun, karena dilakukan di Australia, maka secara materiil maupun formil kasus tersebut harus diselesaikan dengan hukum Australia.  

Ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!