Bagikan:

JAKARTA - Mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo atau SYL disebut melarang keras keluarganya 'main proyek' atau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan sendiri.

Pernyataan itu disampaikan Abdul Malik Faisal, mantan anak buah SYL ketika menjabat sebagai Bupati Gowa hingga Gubernur Sulawesi Selatan, ketika dihadirkan sebagai saksi meringankan atau a de charge dalam kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi, hari ini.

Berawal saat Malik menyampaikan mengenai karakter SYL ketika menjadi pejabat negara. Menurutnya, mantan Bupati Gowa itu jarang sekali berada di kantor.

"Pak Syahrul itu kalau saya liat bekerja 80 persen di lapangan cuma 20 persen di kantor, semua kecamatan didatangi," ujar Malik dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 10 Juni.

Selain itu, SYL juga disebut tidak pernah membicarakan tentang uang atau proyek di pemerintahan.

Bahkan ketika menjabat sebagai Bupati Gowa, kakak dari SYL yang saat itu menjaba anggota DPR disebut sempat marah karena dilarang mendapat proyek.

"Sampai saudaranya sendiri yang pada saat itu anggota DPR marah, dia bilang 'kenapa saya dilarang dapat proyek di Gowa. Nah saya ini juga pengusaha meskipun saya anggota DPR' saudara kakanya sendiri pada saat itu marah," ungkap Malik.

Atas dasar itu, Malik berpikir mantan atasannya itu merupakan pejabat yang bersih.

"Saya saat itu langsung berpikir Pak Syahrul ini tidak main main proyek, tidak ada temennnya yang paling dia marah kalau masalah proyek sampai di provinsi," kata Malik.

Dalam perkara ini, SYL didakwa melakukan pemerasan hingga Rp44,5 miliar selama periode 2020-2023.

Perbuatan ini dilakukannya bersama-sama dengan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan Muhammad Hatta.

Uang ini digunakan untuk kepentingan istri dan keluarga Syahrul, kado undangan, Partai NasDem, acara keagamaan, carter pesawat hingga umrah dan berkurban. Selain itu, ia turut didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp40,6 miliar sejak Januari 2020 hingga Oktober 2023.