Bagikan:

MATARAM - Sebanyak 125 pengusaha di kawasan wisata Gili Meno, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), terdampak krisis air bersih yang sudah berlangsung selama tiga pekan terakhir.

"Jadi, krisis air bersih ini telah melumpuhkan aktivitas pariwisata di Gili Meno yang merupakan bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Sedikitnya ada 125 pengusaha di Meno terkena dampak," kata Ketua Gili Hotel Asosiasi (GHA) Lalu Kusnawan melalui keterangan tertulis yang diterima di Mataram, Antara, Jumat, 7 Juni. 

Menurut dia, akar permasalahan krisis ini terletak pada persoalan hukum yang menimpa PT Gerbang NTB Emas (GNE), badan usaha milik daerah (BUMD) NTB bersama PT Berkah Air Laut (BAL).

Akibat adanya persoalan hukum tersebut, PT GNE dan PT BAL yang mengelola air bersih di Gili Trawangan tidak lagi dapat menyalurkan kebutuhan para konsumennya yang sebagian besar berada di kawasan Gili Meno.

Dengan kondisi demikian, Lalu mempertanyakan peran pemerintah yang terkesan lamban dalam penanganan krisis air bersih tersebut.

"Karena itu, kami mohon kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Air adalah kebutuhan dasar, dan tanpa air, hotel tidak dapat menerima tamu," ucap dia.

Selain itu, dampak dari krisis air bersih ini semakin terasa berat bagi para pengusaha karena tingginya biaya pengadaan air dari luar pulau. Pengusaha harus mengeluarkan sekitar Rp2,5 juta per hari untuk mendatangkan air bersih, yang tentu saja memberatkan operasional usaha.

Situasi ini dibuat parah dengan kondisi pasca pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya pulih. Para pelaku usaha pariwisata masih berjuang untuk bangkit, dan krisis air bersih ini menjadi hambatan baru bagi upaya pemulihan ekonomi pariwisata..

Oleh karena itu, lanjut Lalu, pihaknya meminta pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkret dan cepat dalam menyelesaikan krisis air bersih di Gili Meno.

Pemerintah juga perlu menyiapkan solusi jangka panjang agar pasokan air bersih di Gili Meno bisa tetap terjaga secara berkelanjutan.