Bagikan:

JAKARTA – Pengamat hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai, Putusan Mahkamah Agung (MA) No 23 P/HUM/2024 yang diberlakukan di Pilkada 2024 sangat tidak etis.

Hal tersebut mengingat tahapan pilkada sudah dimulai atau tengah berjalan.

“Putusan MA tidak bisa diberlakukan di Pilkada 2024. Karena, tahapan pencalonan telah berlangsung dengan calon perseorangan yang sudah menyerahkan syarat dukungan, dan sedang dilakukan verifikasi administrasi,” ujarnya, Minggu, 2 Juni.

Dia menjelaskan, bukti sudah berjalannya tahapan Pilkada 2024 adalah sudah diserahkannya syarat dukungan bagi calon perseorangan.

Dengan demikian, rangkaian proses pencalonan jalur perseorangan dilakukan dengan keberlakuan syarat usia yang masih menggunakan ketentuan berusia paling rendah 30 tahun untuk cagub atau cawagub, dan 25 tahun untuk calon di kabupaten atau kota.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menambahkan, KPU sebagai penyelenggara pilkada bisa mengabaikan Putusan MA dengan berlandaskan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

“Kalau kita lihat UU-nya sudah jelas, untuk mencalonkan dan dicalonkan, bukan untuk dilantik. Karena itu kalau misalnya KPU berpatokan pada UU, dia bisa abaikan putusan MA tersebut karena patokan dia adalah UU,” ungkapnya.

Refly menegaskan, aturan yang tertuang dalam PKPU juga sudah jelas bahwa usia 30 tahun diberlakukan sejak penetapan pasangan calon.

“Jadi kalau seandainya misalnya PKPU itu dianggap berlebihan, maka berlebihannya itu adalah berusia 30 tahun sejak ditetapkan sebagai calon. Nah sejak ditetapkan sebagai calon boleh dicoret, maka kembali ke UU berusia 30 tahun sejak mencalonkan atau dicalonkan,” kata dia.

Menurut dia, bila aturan usia minimal 30 tahun berlaku pada saat pasangan dilantik, maka hal tersebut tidak memiliki dasar hukum.

“Jadi kita harus pake logika, mencalonkan sama dilantik beda kan artinya. Sejak mencalonkan itu sejak bawa berkas dan diterima berkasnya dilihat sudah usia 30 tahun atau tidak. Kalau sejak dilantik, kita tidak punya kepastian hukum,” tambah Refly.