Bagikan:

BOGOR - Pernikahan bagi sebagian kalangan muda yang tengah tumbuh ternyata menjadi sangat problematis, menyusul sorotan banyak pihak terkait menurunnya tren pernikahan di Indonesia belakangan ini. Fenomena sosial inipun menjadi perhatian para periset, salah satunya Pakar Keluarga IPB University, Prof Euis Sunarti.

Menurut Prof Euis, menurunnya angka pernikahan sebenarnya harus dilihat dari usia menikah yang meningkat belakangan ini. Maksudnya, adalah rataan usia laki-laki dan perempuan yang menikah lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya sehingga terjadi penundaan yang mengakibatkan tren angka pernikahan menurun.

“Hal yang perlu digarisbawahi dalam fenomena turunnya angka pernikahan belakangan ini adalah pergeseran pandangan mengenai kesiapan menikah. Yang dulunya usia tertentu sudah dianggap siap menikah, tetapi beberapa tahun belakangan ini masih dipandang belum siap menikah,” ujar Prof Euis.

Guru Besar IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) ini menambahkan, kondisi tersebut dapat terjadi akibat beberapa faktor yang memengaruhi keputusan seorang individu untuk menikah. Mulai dari faktor ekonomi, kesiapan intelektual, emosi, moral sampai fisik.

Lebih jauh, Prof Euis juga mengatakan bahwa fenomena penurunan angka pernikahan ini perlu dikaji lebih lanjut agar mendapatkan data representatif di lapangan. Apakah pernikahan ini menjadi hal yang semakin ditakuti karena sadar belum memiliki kesiapan yang cukup atau memang karena keterampilan yang semakin sulit diperoleh demi mendapatkan suatu kondisi yang diinginkan dalam pernikahan.

“Memang harapannya dengan kesadaran kesiapan menikah yang semakin disorot ditandai dengan usia menikah yang meningkat mampu membuat generasi berikutnya lebih baik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa menikah di usia yang lebih muda itu tidak baik. Asal dengan komitmen, keyakinan dan kesiapan tentunya juga akan menghasilkan generasi berikutnya yang sama baiknya,” ungkapnya.

Meskipun fenomena penundaan pernikahan ini dihipotesiskan berpotensi menciptakan generasi yang lebih baik, Prof Euis mengingatkan bahwa tren tersebut juga bisa berbalik menjadi sebuah hal negatif bagi pertumbuhan penduduk.

“Harus dilihat sampai mana batasnya. Jangan sampai seperti di beberapa negara besar yang saat ini memiliki masalah dengan fertility rate sehingga menyebabkan ketidakseimbangan populasi yang bisa mengantarkan pada situasi kekurangan jumlah generasi penerus,” pungkasnya.