JAKARTA – Perbedaan tujuan dan tingkat pendidikan yang tinggi disebut menjadi salah satu menurunnya angka pernikahan di Indonesia. Menurunnya angka pernikahan dikhawatirkan berbanding lurus dengan penurunan angka total fertility rate atau angka kesuburan perempuan.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Statistik Indonesia 2024, angka pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade ke belakang. Namun, penurunan yang paling mencolok terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Pada 2023 misalnya, jumlah pernikahan di Indonesia mencapai 1.577.255 atau turun sekitar 128 ribu dibandingkan angka pernikahan di tahun 2022. Sementara dalam rentang satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebesar 28,63 persen atau menyusut 632.791.
Perlu diketahui data pernikahan yang dipublikasikan BPS adalah data pernikahan di seluruh usia untuk agama Islam. BPS mendapatkan data tersebut dari Dirjen Imas Islam yang berasal dari pencatatan Kantor Urusan Agama (KUA).
Badan Pusat Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjelaskan beberapa faktor yang dianggap menjadi penyebab menurunnya usia pernikahan di Indonesia. Menurut Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, tingkat pendidikan yang semakin tinggi menjadi slah satu penyebab usia menikah mundur. Selain pendidikan, kemampuan finansial serta lingkungan juga ikut berpengaruh.
"Semakin kaya, pendidikan semakin tinggi dan bermukim di perkotaan, berkolerasi erat dengan median usia menikah yang semakin mundur," ujar Hasto dalam keterangannya.
Generasi Z Melek Finansial
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral bagi semua orang. Di berbagai daerah di Indonesia, pernikahan bahkan dianggap sebagai sebuah goal atau target. Maka, tak jarang menikah menjadi ajang ‘perlombaan’ dan siapa yang lebih dulu menikah dinilai sebagai pemenang.
Namun, fenomena itu mulai bergeser dalam beberapa tahun terakhir, seperti yang dibuktikan dengan menurunnya angka pernikahan di Tanah Air. Menikah tidak lagi menjadi ‘ajang perlombaan’ antara satu individu dengan individu lainnya. Anggapan bahwa menikah memiliki usia ideal juga mulai tergerus.
Masih menurut data BPS tentang Statistik Pemuda Indonesia 2023. Dari laporan tersebut terlihat pemuda yang menunda menikah terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun lalu, sebanyak 68,29 persen pemuda belum menikah. Angka ini naik dibandingkan pada 2014 ketika jumlah pemuda yang belum menikah sebanyak 54,11 persen.
BPS sendiri merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang menyebut pemuda adalah warga negara Indonesia berusia 16 sampai 30 tahun.
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap menurunnya angka pernikahan adalah alasan ekonomi, menurut perencana keuangan Andy Nugroho. Dituturkan Andy, kaum muda saat ini lebih melek finansial, sehingga berpikir lebih panjang sebelum memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
“Kalangan gen Z dan milenial, mereka sadar bahwa dana yang dibutuhkan untuk menikah itu tidak sekadar hanya untuk biaya pernikahan saja, namun juga untuk berumah tangga sampai membiayai sekolah anaknya kelak,” tutur Andy.
BACA JUGA:
Selain faktor ekonomi, ada hal lain yang dinilai menjadi salah satu penyebab turunnya angka pernikahan. Pergeseran gaya hidup modern hingga trauma yang ditimbulkan dari sebuah relasi juga dianggap menyebabkan turunnya angka pernikahan.
Mengutip Mind Body Green faktor lain yang menyebabkan seseorang enggan menikah adalah karena pernikahan dianggap sebagai institusi patriarki, keinginan fokus pada karier, angka perceraian yang tinggi, serta perasaan banyak aturan dan ekspektasi dengan pernikahan.
Pengaruhi Bonus Demografi
Penurunan angka pernikahan tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lainnya. Di Amerika Serikat misalnya, angka pernikahan mengalami penurunan hingga 60 persen pada 2023 bila dibandingkan era 1970-an. Sementara Cina juga mencatat angka pernikahan terendah sepanjang sejarah pada 2022, demikian dilansir Asia Media Centre.
Menurunnya angka pernikahan juga terjadi di negara Asia lainnya, seperti Jepang dan Korea Selatan. Jepang bahkan disebut mengalami ‘zaman es pernikahan’ karena angka pernikahan yang terus menurun. Dikutip Nikkei, jumlah pria yang tidak menikah sepanjang hidupnya pada 2020 adalah 30 persen. Padahal, angka tersebut tidak mencapai 2 persen pada 1933.
Penurunan angka pernikahan ternyata berbanding lurus dengan penurunan kesuburan wanita atau total fertility rate. BKKBN melaporkan, dalam kurun 10 tahun terakhir, angka kesuburan menurun dari 2,7 menjadi 2,1 pada 2023.
Angka total fertility rate 2,1 merupakan angka ideal yang mesti dipertahankan. Namun, melihat tren pernikahan yang menurun, muncul kekhawatiran angka kesuburan juga terus menurun di tahun-tahun berikutnya.
Padahal penurunan angka kesuburan bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tidak tercapai. Indonesia sendiri memiliki target menjalani bonus demografi sejak 2035 demi keluar dari status negara middle income atau negara berkembang. Jika angka kesuburan terus menurun, dikhawatirkan pada 2035 penduduk usia produktif tidak lebih banyak dibandingkan usia nonproduktif.
"Kondisi ini (pernikahan yang menurun) berpengaruh terhadap bonus demografi, angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR), laju pertumbuhan penduduk, angka pendapatan kelas menengah atau middle income trap, dan berpengaruh juga terhadap upaya Indonesia menjadi empat negara besar di dunia," tutur Hasto.