JAKARTA - Pasca ditetapkan sebagai pandemik, penyebaran virus corona atau COVID-19 di berbegai negara semakin masif termasuk di Indonesia. Saat ini, jumlah pasien positif COVID-19 terus bertambah, daerah yang paling banyak terinfeksi adalah DKI Jakarta. Karena hal itu, BPJS Kesehatan siap menanggu biaya pasien akibat virus tersebut.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, sesuai regulasi, BPJS Kesehatan dilarang menjamin pelayanan kesehatan akibat wabah. Aturan tersebut tertuang di dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Di Pasal 52, mengatur tentang pelayanan kesehatan yang tidak dijamin program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Kemudian, pada Pasal 52 huruf O, tentang pelayanan kesehatan yang tidak dijamin yakni akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa atau wabah.
Namun, Facmhi mengatakan, wabah virus COVID-19 ini berbeda dengan bencana alam. Wabah virus ini bersifat masif, kecepatan persebaran, menasional, dan menggesa.
Hal ini misalnya berbeda dengan KLB lain seperti Demam Berdarah yang juga dibiayai langsung oleh negara. Mekanisme teknisnya sudah berjalan baik selama ini.
Sementara untuk penanganan COVID-19, Fachmi mengatakan, ada banyak pertanyaan bahkan keluhan dari fasilitas kesehatan dan pemerintah daerah tentang mekanisme pembiayaan pasien COVID-19. Ini menimbulkan problem teknis di lapangan terkait kepastian pembiayaan.
"Pertanyaan dari pemerintah daerah dan fasilitas kesehatan tersebut sesuatu yang wajar. Mereka butuh kepastian. Ini menyangkut dana. Bisa saja pemerintah memberi kepastian tentang mekanisme dan tata caranya, juga administrasi dan verifikasinya," kata Fachmi, di Jakarta, Kamis, 19 Maret.
BACA JUGA:
Fachmi mengatakan, pemerintah bisa memberikan tugas itu kepada BPJS Kesehatan. Sebagai lembaga yang tugas pokoknya memberikan layanan jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan telah memiliki prosedur baku, jangkauan organisasi hingga seluruh Indonesia, dan sumberdaya manusia. Karena itu BPJS Kesehatan bisa menjadi solusi yang siaga.
"Solusinya sederhana. Selesaikan aspek hukumnya. Perlu ada diskresi khusus agar Pasal 52 Huruf O bisa diterobos. Hal itu cukup dengan Instruksi Presiden atau Perpres khusus, yang memberi kewenangan pada BPJS Kesehatan untuk menalangi pendanaan pelayanan kesehatan untuk pasien COVID-19," jelasnya.
Selanjutnya, kata Fachmi, BPJS Kesehatan akan melakukan reimburse atau penagihan ke pemerintah, atau melalui mekanisme lainnya yang diatur secara internal oleh pemerintah.
"Yang pasti, fasilitas kesehatan ada "loket" untuk menagihkan, dalam hal ini BPJS Kesehatan. Karena situasi wabah pada akhirnya akan memiliki limit waktu. Inpres dan Perpres khusus tersebut bisa saja masa berlakunya terbatas dan dengan tujuan tertentu," tuturnya.
Peran baru BPJS Kesehatan ini, kata Fachmi, sangat sejalan dengan arahan presiden, bahwa dalam situasi saat ini, semua pihak harus bergotong royong, bahu membahu dan bersatu melawan virus COVID-19.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku, sedang menyiapkan rancangan Peraturan Presiden pengganti Perpres Jaminan Kesehatan yang dibatalkan Mahkamah Agung.
Nantinya, kata Sri Mulyani, Perpres baru tersebut juga bakal memberikan kepastian bagi BPJS Kesehatan dan rumah sakit dalam menangani COVID-19.
"Seperti diketahui Mahkamah Agung (MA) membatalkan Perpres yang menyebabkan kondisi BPJS (Kesehatan) menjadi tidak pasti dari sisi keuangannya," ujarnya dalam pemaparan APBN di Youtube Kemenkeu, Rabu, 18 Maret.
Sebab, kata Sri Mulyani, tanpa di-cover BPJS Kesehatan, rumah sakit mengalami tekanan besar dalam upaya penanganan pasien COVID-19.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sudah mengeluarkan keputusan untuk menanggung biaya pelayanan kesehatan pasien COVID-19.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Corona Virus sebagai Penyakit Dapat Menimbulkan Wabah dan Penanggulangannya itu diteken Menteri Kesehatan pada 4 Februari 2020.