Bagikan:

SUMSEL - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) wilayah Sumatera Selatan (Sumsel) melakukan analisis hukum terkait penarikan paksa kendaraan bermotor oleh jasa penagih utang atau debt collector.

"Melihat maraknya tindakan debt collector yang menarik paksa kendaraan masyarakat di jalan karena menunggak pembayaran angsuran kredit, kami melakukan analisis data dan informasi terkait permasalahan tersebut menggunakan Sistem Informasi Penelitian Hukum dan HAM (SIPKUMHAM)," kata Kakanwil Kemenkumham Sumsel Ilham Djaya, di Palembang, Jumat 17 Mei, disitat Antara.

Menurut dia, dari sisi konsumen, jika merasa mulai kesulitan membayar, harus ada itikad baik datang ke kantor perusahaan pembiayaan (leasing).

Konsumen bisa menjelaskan permasalahan yang membuat kendala harus menunda pembayaran angsuran kredit kendaraan bermotornya kepada pihak perusahaan pembiayaan.

Sementara dari sisi perusahaan pembiayaan (leasing) jika akan melakukan penarikan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat yang dibiayainya juga harus sesuai prosedur.

Prosedur perusahaan pembiayaan/leasing melakukan penarikan kendaraan yakni harus melalui surat teguran 1, 2, dan 3, kemudian somasi dalam jangka waktu per tujuh hari.

Selanjutnya jika tidak ditanggapi, pihak perusahaan pembiayaan bisa mengirim jasa penagih hutang (debt collector) yang mempunyai sertifikat penagih, surat tugas dari lembaga pembiayaan, jika tidak ada surat tugas, itu ilegal.

Prosedur penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah telah diatur dalam Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang Undang tersebut menerangkan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

“Kemenkumham Sumsel sendiri sering menerima aduan mengenai permasalahan ini. Kami selaku mediator terus mengupayakan adanya negosiasi antara perusahaan leasing dengan si konsumen. Mereka kami pertemukan dan dilakukan mediasi untuk mencari penyelesaiannya, kalau tidak bisa terpaksa ke aparat penegak hukum," jelas Kakanwil Kemenkumham Ilham Djaya.

Sementara sebelumnya Kabag Wasidik Ditreskrimum Polda Sumsel AKBP Faisol Majid menjelaskan bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019, intinya adalah pihak kreditur/leasing dapat menarik kendaraan yang menjadi objek jaminan fidusia jika ada kesepakatan/pengakuan mengenai cedera janji (wanprestasi) serta debitur secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia.

Jika syarat tersebut tidak terpenuhi dan pihak kreditur/leasing melakukan pengambilan kendaraan secara paksa, baik penagih/debt collector maupun pihak kreditur, dapat diancam telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 335 KUHP jo Pasal 55 KUHP (perbuatan tidak menyenangkan) dan atau Pasal 365 KUHP jo Pasal 55 KUHP (pencurian dengan kekerasan).

“Sesuai Keputusan MK, bahwa terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cedera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya Kabag Wasidik Ditreskrimum Polda Sumsel itu.