Bagikan:

JAKARTA - Israel dan Mesir saling menyalahkan saat badan-badan bantuan internasional mendesak deeskalasi di Rafah, Gaza selatan untuk mencegah risiko memburuknya situasi kemanusiaan, serta dibukanya kembali penyeberangan perbatasan.

Para pejabat dari UNICEF, Doctors Without Borders dan Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina semuanya menyuarakan kekhawatiran permusuhan meningkat pada saat yang sama dengan terhambatnya masuknya bantuan ke wilayah kantong tersebut.

Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) menyerukan agar penyeberangan perbatasan dibuka untuk memungkinkan lebih banyak bantuan masuk.

"Penutupan penyeberangan yang sedang berlangsung oleh pasukan pendudukan Israel, terutama penyeberangan penting Rafah, menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, obat-obatan, serta bahan bakar, menimbulkan ancaman bencana kemanusiaan dan kesehatan yang akan segera terjadi," kata PRCS dalam sebuah pernyataan, dikutip dari CNN 15 Mei.

Keprihatinan serupa disampaikan oleh Direktur Regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Adele Khodr.

"Warga sipil yang sudah kelelahan, kekurangan gizi dan menghadapi berbagai peristiwa traumatis, kini menghadapi peningkatan kematian, cedera dan pengungsian di tengah reruntuhan permukiman mereka," ujar Khodr.

"Operasi kemanusiaan yang menjadi satu-satunya jalur penyelamat bagi seluruh penduduk di Jalur Gaza terancam," lanjutnya.

"Rumah sakit-rumah sakit besar di wilayah utara yang berada dalam zona evakuasi, termasuk Kamal Adwan, Al Awda dan Rumah Sakit Indonesia, berada dalam baku tembak, yang sangat mengganggu pengiriman pasokan medis penting dan membahayakan banyak nyawa. Mereka yang berada dalam risiko kelaparan kini tidak dapat menerima bantuan apa pun," tambah Khodr.

Sedangkan Doctors Without Borders (MSF) mengatakan mereka harus berhenti memberikan perawatan di Rumah Sakit Lapangan Indonesia di Rafah akibat serangan Israel.

"Kami harus meninggalkan 12 fasilitas kesehatan yang berbeda dan telah mengalami 26 insiden kekerasan, termasuk serangan udara yang merusak rumah sakit, penembakan tank di tempat penampungan yang telah disepakati, serangan darat ke pusat-pusat medis, dan konvoi yang ditembaki," ungkap kepala operasi darurat MSF Michel-Olivier.

Sementara itu, Israel dan Mesir saling menyalahkan atas penutupan penyeberangan Rafah dan krisis kemanusiaan di Gaza.

Seruan Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, agar Mesir membuka kembali penyeberangan perbatasan Rafah telah memicu perdebatan sengit dengan mitranya dari Mesir.

Menlu Katz mengatakan di Twitter, ia telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron dan Menteri Luar Negeri Jerman Alma Baerbock "tentang perlunya membujuk Mesir untuk membuka kembali perlintasan Rafah untuk memungkinkan berlanjutnya pengiriman bantuan kemanusiaan internasional ke Gaza."

Namun komentar tersebut dikecam oleh Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, yang mencap komentar tersebut sebagai upaya untuk mengalihkan kesalahan atas krisis kemanusiaan Gaza ke Mesir.

Menlu Shoukry menuduh Israel sebagai penyebab krisis melalui aksi militernya dan kontrolnya atas penyeberangan di sisi Palestina. Ia meminta Israel untuk memenuhi kewajibannya sebagai negara pendudukan dan mengizinkan bantuan masuk ke Gaza melalui pelabuhan darat yang dikuasainya.

"Israel bertanggung jawab penuh atas bencana kemanusiaan yang saat ini dihadapi oleh warga Palestina di Jalur Gaza," kata Menlu Shoukry.

Namun Menlu Katz menegaskan kembali sikap Israel, Hamas tidak akan diizinkan untuk mengendalikan penyeberangan Rafah, mengatakan "ini adalah kebutuhan keamanan yang tidak akan kami kompromikan."