JAKARTA - Dipimpin Amien Rais, tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar Front Pembela Islam (FPI) melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta. Dalam pertemuan itu, pendiri Partai Ummat bersama sejumlah pihak lainnya meminta pemerintah menegakkan aturan dengan adil bahkan mengingatkan ancaman neraka jahanam.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyampaikan perihal pertemuan itu mengatakan, suasana kegiatan ini cukup serius dan dilakukan dalam waktu singkat selama 15 menit. Ada sejumlah poin yang disebutkan eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu usai melakukan pertemuan.
Pertama adalah harus adanya penegakan hukum yang sesuai dengan ketentuan hukum, sesuai perintah Tuhan. "Dan yang kedua ada ancaman dari Tuhan kalau orang membunuh orang mukmin tanpa hak maka ancamannya neraka jahanam," kata Mahfud dalam konferensi pers usai mengikuti pertemuan tersebut yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 9 Maret.
Selain itu, Amien yang mengenyam pendidikan sebagai Doktor Politik Timur Tengah, University of Chicago, Amerika Serikat ini meminta Jokowi menggelar pengadilan HAM terkait penembakan enam laskar FPI. Sebab, mereka yakin telah terjadi pembunuhan yang dilakukan dengan cara melanggar HAM berat bukan pelanggaran HAM biasa. (Siapa sosok Amien Rais sesungguhnya? Tim redaksi sudah mengulas profil Amien Rais detail dalam artikel Siapa Amien Rais Sebenarnya)
"Tadi mereka menyatakan keyakinan telah terjadi pembunuhan terhadap enam laskar FPI dan mereka meminta agar ini dibawa ke pengadilan HAM karena pelanggaran HAM berat. Itu yang disampaikan kepada presiden," ungkap Mahfud.
Menanggapi hal ini, Mahfud lantas meminta agar TP3 menyertakan bukti. Apalagi, pemerintah selama ini terbuka dengan masukan terkait kasus penembakan laskar FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek. "Saya katakan pemerintah terbuka. Kalau ada, mana bukti pelanggaran HAM beratnya itu? Mana? Sampaikan sekarang atau kalau tidak, nanti sampaikan menyusul kepada Presiden," ujarnya.
BACA JUGA:
Kata Mahfud, pelanggaran HAM berat memiliki tiga syarat, yakni terstruktur, sistematis, dan masif. Terstruktur artinya dilakukan oleh aparat secara resmi dengan cara berjenjang.
Sistematis adalah perilaku yang tahapannya dilakukan secara jelas. Sementara, masif adalah pelanggaran HAM yang menimbulkan korban yang meluas. Mahfud menyebut pemerintah akan menindaklanjuti keinginan TP3 jika ada bukti bahwa syarat pelanggaran HAM berat terpenuhi.
Namun, jika TP3 mengklaim ada pelanggaran HAM berat hanya berdasarkan keyakinan, pemerintah meragukan. Sebab, Mahfud memegang hasil penyelidikan dari Komnas HAM yang menyatakan bahwa penembakan laskar FPU bukanlah pelanggaran HAM berat.
"Kalau hanya mengatakan yakin, tidak boleh. Karena kita punya keyakinan juga, banyak pelakunya, ini pelakunya, itu otaknya, itu yang membiayai, kita juga yakin. Tapi kan tidak ada buktinya," katanya.
Masih dalam konferensi pers yang sama, Mahfud juga angkat bicara soal pengusutan kasus ini. Pemerintah, ditegaskan Mahfud, tidak mencampuri proses penyelidikan, baik yang dilakukan Komnas HAM maupun kepolisian.
"Presiden sama sekali tidak ikut campur. Tidak pernah pemerintah menyimpulkan ini, menyimpulkan itu," tegasnya.
Dia malah menyebut, Presiden Jokowi memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Komnas HAM saat mereka menyelidiki tewasnya enam laskar FPI.
"Waktu itu Presiden mengatakan silakan Komnas HAM bekerja sebebas-bebasnya. Panggil siapa saja yang merasa punya pendapat punya bukti, yang merasa punya keyakinan, nannti sampaikan kepada presiden apa rekomendasinya," ungkap Mahfud.
Pertemuan ini lantas ditanggapi Direktur Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin yang menganggap penanganan kasus penembakan ini harusnya makin berjalan dengan adil. Selain itu, pengungkapan perkara tersebut harusnya makin mengungkapkan kebenaran yang sebenarnya di lapangan.
Sebab, pertemuan ini digelar karena Amien ingin pemerintah memastikan penanganan kasus penembakan ini secara adil, transparan, dan profesional.
"Jika penanganannya berjalan adil dan bisa mengungkapkan kebenaran apa adanya maka rakyat akan percaya pada pemerintah. Namun, jika sebaliknya, rakyat tak akan percaya lagi pada pemerintah dan penegak hukum," pungkasnya.