Menanti Vonis Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo di Kasus Joko Tjandra
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Persidangan perkara dugaan suap penghapusan red notice untuk Joko Tjandra dengan terdakwa dua Jenderal Polri sudah masuk tahap akhir. Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo bakal divonis hari ini.

Dalam perkara ini, mereka didakwa sebagai penerima suap dengan jumlah yang berbeda. Tapi pemberian suap itu melalui orang yang sama yakni, Tommy Sumardi.

Untuk Irjen Napoleon Bonaparte yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, disebut menerima uang senilai 200 ribu dolar Singapura dan 370 ribu dolar Amerika Serikat (AS).

Sedangkan, Brigjen Prasetijo Utomo saat merupakan mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri disebut menerima uang senilai 100 ribu dolar AS.

Tapi, mereka selalu membantah menerima uang dari Tommy Sumardi yang diperuntukan menghapus nama Joko Tjandra dari daftar red notice.

Sementara, Irjen Napoleon Bonaparte selalu konsisten membantah menerima uang. Bahkan, pada persidangan terakhir dia menyebut, jaksa tak bisa membuktikan adanya pemberian uang.

"Terkait dakwaan terhadap kami yang dianggap telah menerima sejumlah uang dari Tommy Sumardi ternyata saudara Jaksa Penuntut Umum hanya bisa membuktikan fakta adanya peristiwa dimana Tommy Sumardi telah 3 kali bertemu dengan kami," ucap Napoleon dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin, 22 Februari.

Napoleon mengatakan jaksa penuntut hanya membuktikan pertemuannya dengan Tommy Sumardi berlangsung di kantor Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Internasional (Hubinter) Polri. Pertemuan berlangsung di awal April, 16 April dan 4 Mei 2020.

Bahkan, Napoleon juga menyinggung soal surat-surat NCB Polri yang digunakan jaksa penuntut sebagai dasar pembuktian juga yang sia-sia. Sebab, berdasarkan aturan yang ada, surat itu telah sesuai.

"Ternyata telah sesuai dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh NCB Intepol Indonesia sebagaimana ketentuan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan, beberapa aturan kapolri, maupun di dalam ketentuan interpol," kata dia.

Selain itu, Irjen Napoleon menyebut Tommy Sumardi yang juga terdakwa dalam perkara ini sudah mengarang cerita soal pemeberian uang. Alasannya, Bareskrim Polri di awal penyelidikan menelusuri adanya dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Tommy Sumardi dan Kepala Bagian Kejahatan Internasional Divhubinter Kombes Tommy Aria Dwiyanto.

"Penyidikan Bareskrim 5 Agutus 2020 yang semula mengarah kepada perbuatan yang diduga dilakukan oleh TS dan Kombes Pol Tommy Aria Dwiyanto sebagaimana laporan polisi nomor 0430 kemudian berubah sasaran dan langsung diarahkan kepada kami," katanya.

Hanya saja, kata Napoleon, Tommy Sumardi mengarang cerita seolah-oleh dirinya memiliki keterlibatan dalam perkara tersebut. Cerita itu memanfaatkan rekamanan CCTV yang terpasangan di gedung TNCC Interpol.

"Memanfaatkan bukti rekaman CCTV di lantai 1 Gedung TNCC Mabes Polri, Tommy mengarang cerita bahwa kedatangannya dimaksudkan utk bertemu dan menyerahkan uang kepada kami yang berkantor di lantai 11," kata dia

Bahkan, lebih jauh Irjen Napoleon juga menyebut Tommy Sumardi memanfaatkan Brigjen Prasetijo. Sebab, jenderal bintang 1 itu diminta untuk membocorkan informasi perihal red notice.

"Fakta persidangan, TS telah memanfaatkan Brigjen Prasetijo untuk memerintahkan Brigadir Junjungan Fortes agar membocorkan informasi dan surat-surat yang dibutuhkannya tanpa sepengetahuan kami selaku Kadivhubinter," kata dia.

Bahkan, Irjen Napoleon Bonaparte menyebut dirinya korban kriminalisasi dalam kasus tersebut.

"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melaui media sosial yang memicu malpraktik dalam penegakan hukum," ucap Napoleon.

Kriminalisasi dan malpraktik yang dimaksud yakni penegakan hukum yang terkesan tak berdasar. Sebab, penindakan hukum yang akhirnya berujung dia terseret hanya karena menurunnya citra institusi setelah tertangkapnya Joko Tjandra.

"Masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan, yang telah menggeneralisir setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat gibah,"

"Sehingga memicu malpraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," sambung Napoleon.

Bahkan, dalam kesempatan itu Napoleon berujar semua persoalan ini berawal ketika Joko Tjandra masuk ke Indonesia pada 5 Juni 2020. Kedatangan itu, berdampak pada maraknya pemberitaan secara masif.

"Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan bulan Juni 2020, yang menuding, bahwa pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait telah kecolongan," paparnya.

Hal ini, kata Napoleon, semakin diperparah dengan munculnya foto yang memperlihatkan surat keterangan bebas COVID-19 dengan nama Brigjen Prasetijo Utomo, Joko Tjandra, dan Anita Kolopaking. Surat itupun tertera tanda tangan dari Pusdokes Polri.

Sehingga, kepercayaan atas institusi Polri semakin menurun. Sebab, ada anggan Polri merupakan biang keladi rentetan perkars Joko Tjandra.

"Telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum negara," tandas dia.

Sementara untuk Brigjen Prasetijo Utomo akhirnya mengaku menerima uang dari Tommy Sumardi. Dia menyebut memang menerima uang senilai 20 ribu dolar AS.

"Saya mengakui menerima uang 20 ribu dolar AS dari Tommy Sumardi, tidak lebih tidak kurang," ujar Brigjen Prasetijo.

Prasetijo juga menyebut uang yang diberikan Tommy Sumardi tak pernah diminta. Pemberian uang itu awalnya dianggap sebagai hadiah sebagai teman tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

"Saya tidak menyangka penerimaan saya atas uang tersebut menjadi suatu perbuatan pidana yang berujung pada persidangan perkara ini,” sambung dia.

"Dan saya bersumpah saya tidak pernah mengetahui uang tersebut sebesar 20 ribu dolar AS akan dikaitkan dengan penghapusan red notice yang menjadi pokok permasalahan perkara ini," sambung Prasetijo.

Alasannya, sebagai Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri tidak memiliki kewenangan terhadap red notice.

Brigjen Prasetijo juga sudah mengembalikan uang itu ke Propam Polri. Pengembalian itu, kata Prasetijo, belum masuk dalam tahap penyelidikan atau penyidikan.

"Jajaran saya tidak berwenang mengurus surat surat terkait Joko Tjandra. saya tidak memiliki andil apapun karena memang hal tersebut tidak punya kaitannya dengan tugas pokok saya sebagai Karo Korwas PPNS," kata dia.

Untuk itu, Brigjen Prasetijo Utomo melalui kuasa hukumnya meminta majelis hakim untuk mengabulkan pemohonan sebagai justice collaborator yang sudah disampaikan sebelumnya. Permohonan itupun disampaikan dalam persidangan dengan agenda pembelaan.

Alasannya, jaksa penuntut umum (JPU) tak bisa membuktikan pelanggaran pidana yang dilakukan Brigjen Prasetijo dalam perkara tesebut.

"Bahwa Brigjen Prasetijo telah mengajukan permohonan justice collaborator karena telah mengembalikan uang USD 200 ribu. Oleh karenanya, kami meminta permohonan justice collaborator dapat dikabulkan majelis hakim," kuasa hukum Brigjen Prasetijo, Rolas Sitinjak.

Selain itu, dalam persidangan dengan agenda duplik itu pihak Brigjen Prasetijo juga meminta majelis hakim untuk menyatakan semua dakwaan yang diajukan JPU.

"Menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum," tegasnya.

Kemudian, Rolas juga meminta majelis hakim agar nama baik kliennya yang sudah tercoreng dengan adanya kasus ini dipulihkan.

"Merehabilitasi nama baik, harkat martabat terdakwa dan membebankan perkara a quo kepada negara," kata dia.

Sebagai informasi, dalam perkara ini, Irjen Napoleon Bonaparte dituntut dengan pidana penjara selama 3 tahun. Selain itu, dia juga diminta membayar denda senilai Rp100 juta subsider 6 bulan.

Sementara, Brigjen Prasetijo Utomo dituntut dengan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan. Dia juga dituntut membayar denda Rp100 juta subsider 6 bulan.