Bagikan:

JAKARTA - Mantan Kadiv Hubungan Internasional (Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte tak bisa mendapatkan keinginannya pindah sel tahanan dari rutan Bareskrim Polri ke rutan Mako Brimob. Permintaannya itu terbentur perizinan. 

Gagalnya pemindahan sel tahanan terdakwa dugaan suap red notice ini diketahui ketika jaksa penuntut umum (JPU) menyampaikan informasi kepada majelis hakim perihal tersebut.

Sebab, majelis hakim sebeluknya sudah mengabulkan permintaan Irjen Napoleon Bonaparte untuk pindah tempat penahanan.

"Terkait penetapan hakim, kami telah berupaya memindahkan tahanan Irjen Napoleon dari rutan Bareskrim ke rutan Mako Brimob. Kami membawa yang bersangkutan untuk dipindahkan ke rutan Mako tapi sesampai di sana kami enggak bisa masuk ke rutan Mako, kami gak diizinkan," ucap jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 1 Maret.

Meski belum mendapatkan izin saat itu, kata jaksa, mereka sempat menunggu hingga sore hari dan terus berusaha menempatkan Irjen Napoleon Bonaparte ke rutan Mako Brimob. Hanya saja, upaya itu gagal karena tetap tak mendapatkan izin.

Hingga akhirnya, diputusan jika Irjen Napoleon Bonaparte tetap ditempatkan di sel rutan Bareskrim Polri.

Selanjutnya, jaksa menyebut sudah berkoordinasi dengan Bareskrim Polri perihal kondisi di dalam rutan. Hasil koordinasi Bareskrim menegaskan sudah melakukan langkah-langkah antisipasi penyebaran COVID-19.

"Kami juga sudah konfirmasi ke rutan Bareskrim mereka telah mengantisipasi tahanan covid Terkait hal tersebut. Kami ingin ajukan permohonan untuk tetap yang bersangkutan ditahan di rutan Bareskrim," katanya.

Menanggapi hal tersebut, hakim ketua Muhammad Damis mengatakan jika bakal mempertimbangkan perihal tersebut.

"Kami akan pertimbangkan," kata Damis

Sementara jika melihat awal mula adanya permintaan tersebut, saat itu Irjen Napoleon memberikan surat permohonan kepada majelis hakim. Isinya minta dipindahkan tempat penahanan karena kekhawatiran terpapar COVID-19.

"Pada tanggal 16 Februari 2021, kami menerima surat yang diajukan tim pengacara hukum terdakwa berkenaan dengan permohonan agar tedakwa dapat dipindahkan tempatnya di tahanan yaitu semula ditahan di rutan Bareskrim dan mohon agar dipindahkan ke rutan Mako Brimob," kata Damis

Sehingga, Damis saat itu meminta JPU untuk mempertimbangkan permohonan tersebut. Tapi saat itu JPU yang belum mengetahui alasan di balik permohonan tersebut langsung menolaknya.

Damis pun kemudian menjelaskan alasan permohonan yang salah satunya telah terjadi penyebaran COVID-19. Hanya saja, JPU tetap pada pendiriannya dengan menolak permohonan tersebut.

"Ada beberapa alasan yang dikemukakan antara lain adanya peningkatan penyebaran wabah COVID-19 di lingkungan tempat terdakwa ditahan, itu intinya dan dalam surat disebutkan bahwa telah ada tahanan yang meninggal dunia karna terpapar COVID-19," kata Damis.

Lantas, Irjen Napoleon pun ikut menjabarkan alasan permohonan itu. Dia merasa takut terpapar jika tetap ditahan di rutan Bareskrim. Sebab, selama menjalani penahanan di sana sudah menyaksikan beberapa orang meninggal dunia.

"Saya sudah lebih dari 4 bulan di rutan Bareskrim. Saya hitung 2 bulan terakhir ini, 3 tahanan itu meninggal dunia dengan positif COVID-19," kata Irjen Napoleon.

Bahkan, Irjen Napoleon mengungkapkan rasa takutnya semakin menjadi-jadi ketika melihat jenazah dari Ustaz Maaher. Apalagi sel tahanan Ustaz Maaher tepat di sebelah ruang tahanannya.

"Yang terakhir 2 minggu lalu tanggal 8 Februari 2021 tepat hari Senin sepulang dari sini setiba di sel itu jam setengah 8 malam, melintas di depan saya itu jenazah dari Ustaz Maaher yang posisi selnya di sebelah kamar saya persis. Dengan penyakit alasan yang tidak sebutkan Humas Polri," kata dia.

Sebagai informasi, dalam perkara dugaan suap penghapusan red notice, Irjen Napoleon Bonaparte dituntut pidana penjara selama 3 tahun.

Irjen Napoleon disebut menerima suap dari Joko Tjandra. Suap itu dipetuntukan menghapus nama Joko Tjandra dari daftar red notice.

Saat menerima suap itu, Irjen Napoleon masih menjabat sebagai Kadiv Hubungan Internasional (Hubinter) Polri. Dia disebut menerima uang senilai 200 ribu dolar Singapura dan 370 ribu dolar Amerika Serikat (AS) dari Tommy Sumardi.