Bagikan:

JAKARTA - Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron belum dimintai keterangan dalam sidang etik pada hari ini, Selasa, 14 Mei.

Diketahui, Ghufron disidang etik karena diduga berkomunikasi dengan pihak Kementerian Pertanian (Kementan) untuk membahas mutasi seorang pegawai. Dewas KPK menduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang.

“Bukan pemeriksaan Ghufron (hari ini, red). (Baru pemeriksaan, red) saksi-saksi. Dia belum diperiksa,” kata Tumpak kepada wartawan di Gedung ACLC KPK, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Mei.

Tumpak menjelaskan ada enam saksi yang sudah didengar keterangannya. Salah satunya dihadirkan melalui sambungan video conference.

Lebih lanjut, Dewas KPK memastikan nasib Ghufron dalam dugaan pelanggaran etik bakal segera ditentukan. Ia juga dipersilakan memberikan pembelaan, termasuk membantu karena alasan kemanusiaan.

“Ya, nanti kita lihat. Dalam putusan tentu akan kita uraikan nanti. Ya, boleh-boleh saja semua bilang apa, ya tho,” tegasnya.

“Jadi keterangan Ghufron sendiri belum kita periksa. Nanti dia akan terangkan itu,” sambung Tumpak.

Sementara itu, Anggota Dewan Pengawas KPK Harjono mengatakan sidang etik dugaan pelanggaran Ghufron bakal dilanjutkan pada Kamis dan Jumat pekan ini.

“Kalau Jumat itu adalah mendengarkan pembelaan Pak Ghufron ya,” tegasnya di kesempatan yang berbeda.

Diberitakan sebelumnya, Dewan Pengawas KPK memutuskan menyidangkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron karena diduga menyalahgunakan kewenangannya. Ada dugaan dia mengurusi mutasi seorang pegawai Kementerian Pertanian (Kementan).

Dalam dugaan pelanggaran etik ini, Dewan Pengawas KPK sudah mengantongi sejumlah bukti. Termasuk keterangan dari pihak terkait, seperti eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo.

Adapun persidangan pada Selasa, 14 Mei ini dilakukan setelah Dewas KPK melakukan penundaan karena Ghufron tidak hadir pada Kamis, 2 Mei. Penyebabnya, dia sedang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena merasa pelanggaran etik yang dilakukannya sudah kedaluwarsa.