Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak membantah berkomunikasi dengan pejabat Kementerian Pertanian (Kementan) untuk membahas mutasi pegawai yang merupakan menantu temannya.

Hal ini disampaikan Ghufron usai disidang etik oleh Dewan Pengawas KPK, Selasa, 14 Mei. Katanya komunikasi dilakukan melalui sambungan telepon.

"Ya itu kan namanya bahwa saya tegaskan ya peristiwanya saya nelpon, saya nelpon. Apakah saya minta bantuan itu yang kemudian perlu diperdebatkan," kata Ghufron kepada wartawan di gedung ACLC KPK, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa, 14 Mei.

Meski begitu, Ghufron menyebut dirinya bukan membantu proses mutasi itu sejak awal. Komunikasi itu hanya bertujuan menindaklanjuti aduan yang didapatnya soal mutasi pegawai Kementan.

"Sekali lagi semuanya karena ada komplain, ada keluhan, baru saya komunikasikan,” tegasnya.

“Bukan dari proses, misalnya ‘saya mau mutasi, dari awal sudah kontak Pak Gufron minta bantuan’, tidak! Pada saat itu, dia sudah mutasi mohon itu dua tahun sebelumnya Sejak 2021. Kemudian ditolak,” sambung Ghufron.

Ghufron menerangkan penolakan mutasi ini didasari karena kekurangan sumber daya manusia (SDM). Tapi, anehnya pegawai itu justru diterima surat pengunduran dirinya.

“Resign yang akan konsekuensi sama yaitu mengurangi SDM dikabulkan. Dan itu diceritakan kepada saya oleh mertuanya, yang kemudian saya komunikasikan kepada pejabat di Kementan," jelasnya.

 

Diberitakan sebelumnya, Dewan Pengawas KPK memutuskan menyidangkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron karena diduga menyalahgunakan kewenangannya. Ia diduga mengurusi mutasi seorang pegawai Kementerian Pertanian (Kementan).

Dalam dugaan pelanggaran etik ini, Dewan Pengawas KPK sudah mengantongi sejumlah bukti. Termasuk keterangan dari pihak terkait, seperti eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo.

Adapun persidangan pada Selasa, 14 Mei ini dilakukan setelah Dewas KPK melakukan penundaan karena Ghufron tidak hadir pada Kamis, 2 Mei. Penyebabnya, dia sedang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena merasa pelanggaran etik yang dilakukannya sudah kedaluwarsa.