JAKARTA - Partai Gerindra menegaskan tidak pernah mempunyai masalah dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seiring dengan kans bergabungnya PKS ke pemerintahan baru nantinya.
Politisi Partai Gerindra Hendarsam Marantoko menyebutkan PKS sejak dahulu merupakan teman seperjuangan Partai Gerindra, terutama saat berjuang di beberapa pemilihan presiden (pilpres) sebelumnya yakni 2016, yakni 2014 dan 2015.
"Mereka teman-teman seperjuangan, kalau masalah pecah di Pilpres 2024 itu hanya masalah strategi saja," kata Hendarsam dalam diskusi daring bertajuk Demokrasi Tanpa Oposisi yang dipantau di Jakarta, dikutip dari Antara, Sabtu 4 Mei.
Dengan demikian mengenai ketidakhadiran Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto saat halalbihalal PKS beberapa waktu lalu, ia menyebutkan tidak ada permasalahan tertentu.
Menurutnya, Prabowo berhalangan hadir di acara itu lantaran memiliki acara keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Selain itu, lanjut dia, undangan halalbihalal PKS kepada Gerindra sebenarnya bersifat umum, sehingga tidak ada undangan khusus kepada Prabowo.
Hendarsam menilai sejauh ini memang belum terdapat komunikasi dari PKS untuk bergabung ke koalisi pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kendati demikian, sambung dia, sudah ada gestur tertentu dari para kader maupun elite PKS yang menunjukkan keinginan tersebut.
"Tidak bisa kami pungkiri dalam sejarahnya PKS ini merupakan mitra lama kami, sudah beberapa kali pilpres dari teman-teman PKS berjuang bersama-sama kami," ungkapnya.
Baca juga:
Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan bahwa partainya tidak masalah untuk menjadi oposisi ataupun koalisi pada pemerintahan mendatang.
"PKS punya pengalaman 10 tahun masuk koalisi di masa Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan 10 tahun menjadi oposisi di masa Pak Jokowi. Jadi oposisi enggak ada masalah, koalisi siap, kita lihat dinamikanya," kata Jazuli dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (29/4).
Anggota Komisi I DPR RI itu mengungkapkan bahwa pilihan untuk menjadi koalisi atau oposisi setelah pilpres hanyalah persoalan teknis.